-->

Sedikit ulasan mengenai Seni Kontemporer

7 minute read
Menurut bahasa kamus, contemporary memiliki arti (kata sifat) zaman sekarang atau tempo kini. Jadi, andai anda menjumpai istilah contemporary artists, istilah itu boleh diartikan seniman tempo kini. Arti bendawi dari contemporary adalah sezaman atau seumur. Lewat Kompas 15 Oktober 1995, Franki Raden menulis bahwa dalam dunia seni tradisional, seni adalah bagian integral dari kegiatan sosial dan keagamaan. Permasalahan yang utama di sini adalah bagaimana seni bisa berfungsi langsung dalam masyarakat baik secara sosial maupun spiritual (dalam agama Islam, sosial adalah bagian dari spiritual-tidak terpisah). Bentuk atau judul kesenian itu sendiri adalah hal sekunder. Oleh sebab itu, dalam dunia seni tradisional si pencipta karya seni itu sendiri tidak dianggap penting. Dengan kata lain, bagi masyarakat tradisional karya seni dipercaya sebagai anugerah dari alam. Dengan demikian, proses bagaimana terciptanya karya seni tersebut tidak menjadi pusat perhatian mereka. Si pencipta karya seni itu sendiri dalam lingkungan masyarakat ini umumnya menganggap apa yang ia ciptakan bukanlah hasil proses kreativitas pribadinya sendiri, melainkan sesuatu yang ia terima dari alam (natural maupun supernatural) tadi.
Dalam dunia seni pop, fungsi kesenian juga merupakan hal penting. Namun dibanding dengan seni tradisional, fungsi seni pop dimensinya lebih sempit, yakni hanya merupakan hiburan untuk mengisi waktu luang dalam kehidupan yang cenderung eksploitatif dan materialistis. Seni pop adalah produk sistem perekonomian kapitalis, di mana segala hal di dalam kehidupan ini, termasuk hal-hal yang berada dalam wilayah realitas simbolis, diusahakan menjadi komoditi yang bisa dijual ke pasar luas.
Orientasi sistem perekonomian ini adalah memupuk modal terus menerus dengan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Oleh sebab itu, logika produk-produk kesenian yang lahir dari sistem perekonomian ini adalah logika pasar bukan logika artistik. Dengan demikian, dalam dunia seni pop eksistensi sang pencipta (penggubah) juga tidak terlalu penting. Yang dimaksudkan Franki Raden di sini bahwa si pencipta (penggubah) tidak perlu hadir secara total di dalam masyarakatnya. Yang lebih diperlukan adalah produknya yang bisa dikemas sebagai komoditi dan dijual ke pasar luas.
Jika ada argumentasi dalam dunia seni pop, justru sang seniman sering mendapat perhatian besar dari media massa, itu tidak lain karena sosok seniman tersebut juga merupakan komoditi yang bisa dijual. Dengan kata lain, rekayasa citra tentang dirinya lebih penting ketimbang pribadi sang seniman yang sebenarnya karena semakin besar liputan media yang ia peroleh, semakin laris karya-karyanya di pasar luas.
Franki melanjutkan bahwa permasalahan yang terfokus pada eksistensi sang seniman pencipta (penggubah) inilah secara kontras membedakan dunia seni kontemporer dari dunia seni tradisional maupun pop. Dalam dunia seni kontemporer, pribadi serta pandangan hidup sang seniman adalah dasar darimana ciptaan-ciptaannya (gubahannya) lahir.
Pribadi dan pandangan hidup ini sedemikian pentingnya sehingga mereka sering melakukan hal-hal yang bisa dikatakan ekstrem jika dilihat dari kacamata masyarakat awam. Bisa dikatakan, pengalaman hidup bagi seniman kontemporer adalah hal yang sangat fundamental bagi proses kelahiran dan bobot karya-karyanya. Tanpa pengalaman hidup eksistensial, sang seniman akan mengalami krisis dalam ciptaan-ciptaannya.
Kehadiran seni kontemporer secara sosiologis juga bisa dilihat sebagai resistensi sekelompok manusia terhadap sistem perekonomian kapitalisme yang digerakkan roda industri dan melahirkan seni pop tadi. Oleh sebab itu, para senimannya tidak mau menjadi bagian roda industri yang memproduksi para senimannya secara massal melalui sistem standarisasi pasar. Dalam konteks itulah para seniman kontemporer berusaha sekeras mungkin membentuk dirinya menjadi individu yang unik, yang berbeda dengan individu lainnya.
Konsekuensi logis masalah ini adalah mereka juga mengharapkan dan diharapkan dapat melahirkan karya yang orisinil, spesifik, dan berbeda dari karya lainnya. Dengan begitu, standarisasi kemasan artistik yang diterapkan para pemilik modal dalam dunia industri seni pop sama sekali tidak berlaku dan ditolak para seniman kontemporer.***
Sedikit ulasan mengenai Fir’aun Kontemporer (masa kini)
“Hitam-putih” adalah tabiat manusia yang memulas ruang waktu yang bergerak dan mengalir dari zaman ke zaman. “Hitam” biasa kita tamsilkan bagi tabiat yang buruk, dekil, kotor, atau menyimpang dari kebenaran hakiki. “Putih” biasa kita tamsilkan bagi tabiat yang bersih, baik lurus, seiring dengan kebenaran yang hakiki. Secara kontemporer, tabiat “hitam” para musyrikin ‘Aad dan Tsamud, Raja Namrud yang bengis, serta Fir’aun yang mendewakan dirinya, selalu hadir disegala zaman, berantagonisme dengan tabiat “putih” para nabi suci yang berusaha meluruskan tabiat yang bengkok, atau memperbaiki fitro manusia yang rusak! Jadi, kehadiran tabiat yang berlawanan tersebut, cuatannya ke permukaan tidaklah sekedar “ngepop” atau ingin memperbaharui kembali tabiat-tabiat ketradisian yang telah dianggap usang. Namun, tabiat tersebut muncul atau bahkan mungkin berkembang melantur yang tidak lepas dari perubahan warna pribadi manusia itu sendiri, sebagaimana kain putih yang menjadi hitam karena di celup warna hitam, tetapi setelah “kebacut” berwarna hitam, sulit sekali dikembalikan ke putih, kecuali lewat cara atau usaha khusus tersebut adalah dakwah agama yang tidak sekedar sloganis, namun lebih merupakan dakwah lampah, yaitu meneladani hal-hal yang positif di dalam kata dan perbuatan yang terinspirasi kandungan Al Qur’an suci (wahyu/firman Allah Swt) dan Hadits Nabi (Segala sikap dan perbuatan yang telah dilakukan oleh Nabi). Jadi, tabiat “hitam” manusia tidak mungkin dikembalikan menjadi “putih bersih”, sekedar diusahakan lewat dakwah “ngepop” yang gaung religiositasnya cuma sekilas. Namun, tabiat “hitam” Fir’aunisme yang merekah secara contemporary tersebut, amat tepat jika diantisipasi dengan metode dakwah yang contemporary pula sehingga debit-debit nilai dakwah yang dikocorkan guna membasuh tabiat “hitam” pada zamannya akan efektif bagi warna karakter zaman tersebut, dalam artian bahwa usaha dakwah tidak sekedar bertepuk sebelah tangan, atau sekedar “hiburan” sekilas yang kosong lecutan-lecutan yang bersifat nuraniah. Lebih fatal lagi jika kembali surut ke metode dakwah tradisional, yang bisa-bisa Cuma dilihat sebelah mata atau didengar sebelah kuping!
Saya sepakat dengan Franki Raden bahwa dunia seni kontemporer, pribadi serta pandangan hidup sang seniman adalah dasar darimana ciptaan-ciptaannya (gubahannya) lahir, yang membedakannya dari seni pop atau seni tradisional. Namun menurut saya, karya seni itu sendiri tidak usah bernilai estetis, asalkan bersifat artistik (nyeni) sebab ada keindahan lain yang bisa dicapai oleh seorang seniman di luar keindahan estetis, yaitu keindahan transenden yang perlu dikaji lewat metalogika kita. Yang amat berbahya ialah seniman yang dengan fanatismenya memeluk faham estetisme yang amat mencemoohkan kaidah-kaidah lain di luar kaidah-kaidah estetika, di antaranya kaidah moral, lebih-lebih lagi kaidah-kaidah agama sebagai induk bagi kaidah moral itu sendiri.
Nah, di dalam perilaku manusia, termasuk jika kita memandangnya secara citra contemporary, faham estetisme tersebut senantiasa mencuat ke permukaan hidup, yang mengagungkan keindahan-keindahan yang bersifat lahiriah belaka! Sehingga hidup yang estetisme senantiasa mendahulukan gevyar keduniawian ketimbang nilai-nilai luhur kemanusiaan yang perlu diraih oleh seorang manusia yang berakal (nurani plus pikir), yang membedakannya dari sekedar seekor hewan. Tentu saja nilai-nilai luhur kemanusiaan tersebut tidak mungkin dikaji lewat kaidah-kaidah estetika sebab hal itu adalah transenden, kendati dampak dari nilai-nilai luhur tadi bisa mencuat ke permukaan sebagai perilaku, sikap, atau amal-amal kebajikan yang beraneka ragam bentuknya, yang tidak mengharapkan lagi penghargaan orang lain! Dalam bahasa agama, inilah yang disebut ikhlas karena Allah.
Bagi pemeluk Fir’aunisme yang muncul dari zaman ke zaman, yang terkadang amat dominan memulas zaman digjayanya, Ikhlas karena Allah tadi hanyalah sekedar slogan yang mengkamuflase keprestisean diri—bahkan sering kali lenyap sama sekali--- sebab bagi para pemeluk Fir’aunisme, tidak ada yang lebih berkuasa selain aku, dalam artian bahwa saking tersilau oleh gemerlapnya materi, mereka tidak mampu membedakan lagi antara “Superego” yang mampu mencipta dengan “ego kerdil” yang Cuma mampu menggubah atas hasil ciptaan “Superego” Sang pencipta. Oleh sebab itu, para Fir’aun kontemporer, termasuk yang hidup di zaman globalisasi ini, secara tidak malu-malu –bukan malu-malu ngepop—mempamerkan ekspresi animal face-nya tanpa tedeng aling-aling, yang setiap saat siap menerkam mangsa yang gurih dan empuk, yakni manusia lemah yang mudah “disantap”. Cita-cita mereka digantungkan di puncak piramid ketamakan sebab aji mumpung merupakan falsafah hidup yang utama; sebab interpretasi keakhiratan bagi para Fir’aun kontemporer tersebut masih setali tiga uang dengan interpretasi Menes, Zoser, Tutmoses, Ramesses, dan lain-lain. Atau paling tidak, seiring dengan interpretasi Namrud, Abu Jahal, dan lain-lain.
Seiring dengan estetisme dalam berkesenian, estetisme (aesthetizm) dalam kehidupan yang lebih luas, “jelas bin gamblang” dipandang dari sisi falsafahnya, cenderung memusuhi agama, termasuk memusuhi agama di luar Islam karena semua agama di dunia ini mengajarkan moral yang baik. Oleh sebab itu, ciri yang menonjol dari para Fir’aun kontemporer tersebut adalah moral yang buruk sehingga kapan atau dimana Fir’aun kontemporer itu berjaya, di sana pulalah bersemi kemaksiatan, kemelaratan, dan kebejatan moral. Hidup konsumtif merajalela. Gila puji dan “jilatisme” bersemarak di puncak-puncak seremonial yang spektakuler, yang merenggangkan si kaya dan si dhuafa. Kepalsuan hidup dikemas keluhuran budi dan kesalehan, tipu daya telah terbiasa merayu-khusyuk dalam tatanan hidup yang buruk!
Dulu estetisme berkoar-koar di atas menara gading kesenimanan yang “mengharamkan” seni mengikutsertakan moral dan kebajikan. Kini, di depan gerbang masuknya manusia ke millenium tiga, para Fir’aun kontemporer semakin menajamkan taringnya guna meniscayakan lagi status “kedewaan”nya di awal abad ke-21 ini, juga mempersetankan moral dan kebajikan –secara terang-terangan atau terselubung! Justru yang mesti kita waspadai dalam menghadapinya adalah antimoral yang dikemas moral, bahkan antiagama yang dikemas agama. Mudah-mudahan Allah ‘azza wajalla menjauhkan penyakit buruk tersebut dari diri kita sebab andai “wabah bahaya” tersebut menular ke diri kita, berarti kita telah mengkhianati fitrah kita sendiri. Lebih-lebih lagi jika Fir’aunisme telah kita kukuhkan menjadi pola hidup kita.***
Sumber: Suardi, Dedy