-->

Manusia utopia

I. Utopisme Klasik
Sudah seringkali kita mendengar perkataan utopia dan kira-kira kita mengerti juga apa artinya. Di antara kita yang mengenal literatur Marxis tidaklah asing jika kita mendengar perkataan sosialisme utopia, yaitu sosialisme yang hanya ada di dalam idea belaka, tetapi tidak ada dalam pelaksanaannya di dunia ini, umpama saja sosialisme yang dikemukakan oleh Proudhon. Kita juga mengenal mengetahui, ketika demokrasi klasik di Yunani mengalami kegagalan fatal, timbullah idea untuk mendirikan pemerintahan filsuf (biasanya kita mengenalnya dengan republik ala Plato). Idea ini dikemukakan oleh Plato. Lebih terkenal daripada kesemuanya itu adalah utopia dari seorang sarjana Inggris, Francis Bacon, yang mengolah kembali utopia klasik. Utopia Francis Bacon itu sudah tergolong utopia modern. Tetapi masih lebih terkenal daripada itu adalah utopia Thomas Morus, orang Inggris juga.
Apabila kita telah mempelajari hal itu semuanya, biasanya kita lalu menarik suatu pengertian, bahwa utopia adalah semacam hasrat atau keinginan yang hanya ada dalam hati dan pikiran orang, akan tetapi hasrat atau keinginan tersebut, tidak dapat dilaksanakan. Memang dilihat dari sudut perkataannya, utopia berasal dari bahasa Yunani, outopos, ou artinya tidak dan topos artinya tempat. Jadi outopos atau utopia berarti tidak mempunyai tempat.. Sebuah pesawat radio yang kita hadapi bukanlah utopia, karena ia mengambil tempat. Keinginan kita untuk mendirikan sebuah rumah bukanlah utopia, apabila kita dapat melaksanakannya. Jika kita tidak dapat melaksanakannya, maka keinginan kita itu adalah utopia.
Demikianlah secara sederhana kita telah mengambil utopia sebagai sebuah konsep dalam discourse (pembahasan) kita ini. Pertanyaan selanjutnya ialah, apakah yang disebut utopia, dan apakah yang disebut yang bukan-utopia dalam hubungannya dengan kenyataan-kenyataan sejarah? Apakah demokrasi itu suatu utopia, dan sebaliknya apakah demokrasi itu bukan suatu utopia? Apakah suatu kekerasan yang dipergunakan oleh umat manusia untuk mencapai sesuatu cita-cita merupakan jalan menuju yang bukan utopia, ataukah sebaliknya ia menuju pada utopia? Untuk mengambil contohnya saja, apakah Proudhon seorang utopis, atau sebaliknya justru orang yang mengatakan bahwa Proudhon seorang utopis itulah seorang utopis? Apakah dalam jaman modern, bahkan dalam jaman post-modern ini kita tidak dapat mengenal utopia lagi?
Kita akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan sungguh-sungguh, dengan pengalaman kita, dengan penghayatan kita, dan tidak dengan bahasa yang mati; dengan menyerahkan diri pada istilah-istilah yang mati dan maksimal. Meskipun demikian ada baiknya jika kita mengenal lebih dulu utopia itu dengan lebih terang sedikit.
II. Pencipta "utopia" yang pertama dan Beberapa aspek dari utopisme
Plato, seorang filsuf Yunani beberapa abad sebelum tarikh Masehi, dengan ide totaliternya telah membuat suatu utopi dalam bukunya yang berjudul Timiaios dalam mana terdapat bagian yang menceritakan benua Atlantik. Cerita ini dikisahkan dalam suatu dialog oleh seorang tokoh bernama Kritias, yang berbicara tentang sebuah Negara Ideal yang tidak mungkin dapat dicapai.
Dalam buku Plato ini tidak disebut-sebut perkataan outopos, outopia atau utopis, akan tetapi isinya jika diterjemahkan ke dalam bahasa modern menunjukkan suatu utopia juga. Perkataan utopia untuk pertama kali dipergunakan oleh seorang ahli ilmu hukum dan filsuf negara berkebangsaan Inggris, Thomas More atau Thomas Morus, ketika ia dalam tahun 1516 menerbitkan bukunya utopia. Dengan demikian utopia klasik, dalam hal ini ciptaan Plato, adalah utopi avant le mot, yaitu utopia yang sudah ada isinya, tetapi belum ada perkataannya. Perkataannya itu baru ada kemudian.
Menurut Thomas Morus, utopia adalah sebuah pulau yang amat lebar, bagian tengahnya sepanjang 200 mil dan panjangnya adalah jarak antara bagian tengahnya itu dengan kedua ujungnya. Pulau tersebut berbentuk seperti bulan purnama. Pelabuhan-pelabuhan pulau ini terbuka bagi semua kapal, tetapi bagi orang yan tidak mengenal pulau ini terdapat bahaya, karena di sana sini lautnya sangat dangkal dan penuh karang. Orang yang menemukan dan membangun pulau ini bernama Abraxa --tetapi sesudah menemukannya ia berganti nama Utopus-- dan telah berhasil menjadikan penduduk pulau itu dari orang-orang yang biadab menjadi orang-orang yang beradab. Ketika ia menemukan pulau ini, ia berusaha memotong 15 mil dari pulau ini, supaya mempunyai bentuk yang indah. Akan tetapi ia tidak mau memaksa penduduk pulau untuk mengerjakan hal itu sampai sakit hati karena diperintah. Karena itu ia menyuruh serdadu-serdadumya untuk mengerjakan itu dan bergotong royong dengan penduduk.
Pulau utopia mempunyai 54 kota yang semuanya tertata rapi dan indah; di mana-mana terdapat keseragaman dalam bahasa, kesusilaan, lembaga, dan hukum. Letak kota-kota ini sama tinggi sama rendah. Jarak antara kota satu dan kota lainnya terbilang dekat. Jarak yang terdekat ialah 24 mil dan dapat dicapai dalam satu hari. Di tiap kota dipilih tiga orang yang paling berpengalaman untuk menyelesaikan urusan-urusan masyarakat, dan tiap-tiap tahun bertemu di sebuah tempat, bernama Amaurotus yang artinya gelap atau tidak dikenal. Inilah yang disebut sebagai Ibukota Utopia. Kota-kota diatur begitu rupa, sehingga orang tidak merasa perlu lagi menempuh jarah lebih dari 20 mil. Kota yang satu tak mempunyai keinginan untuk menguasai kota lainnya. Penduduk yang tinggal di situ tidak pernah memandang, bahwa tanah yang didiami itu kepunyaan mereka, melainkan mereka merasa sebagai penyewa belaka. Di tiap ladang mereka mempunyai tempat tinggal yang amat layak untuk mengerjakan hasil-hasil pertanian mereka. Rumah-rumah ini ditempati oleh warga pulau itu secara bergiliran. Tak ada keluarga tani yang jumlahnya lebih dari 40 orang. Tiap 30 keluarga dikepalai oleh seorang phylarchus (kepala suku). Dari setiap keluarga dan setiap tahun 20 tahun orang akan kembali ke kota setelah dua tahun memenuhi tugasnya sebagai petani-petani. Mereka ini digantikan oleh orang-orang kota, yang diajar oleh orang-orang yang telah setahun bekerja di ladang, dan tahun depannya mereka ini harus sudah dapat memberi pelajaran kepada orang-orang yang sama-sama baru dan tidak cakap dalam lapangan pertanian, sehingga tidak usah mengkhawatirkan penduduk di situ. Pergantian tahunan ini juga mengandung maksud untuk tidak membiarkan seseorang bekerja di tanah pertanian. Petani-petani itu mengolah tanah, memberi makan hewan-hewan, memotong kayu dihutan-hutan dan mengirimkan apa yang diperlukan oleh kota demi kota. Mereka mempunyai peternakan ayam yang besar dan ayam itu bisa dibuat oleh mereka, karena telur-telurnya tidak ditetaskan oleh induknya, melainkan dipanaskan dengan sinar matahari dan manusialah yang mengganti induknya untuk membesarkan anak-anak ayam itu. Penduduk tidak banyak memelihara kuda, karena kuda hanya dipilih untuk latihan mengendarai kuda oleh anak-anak muda. Sapi-sapi dipergunakan untuk mengolah tanah, maupun untuk menarik muatan. Penduduk berpendapat, bahwa sapi tidak mempunyai kekuatan hidup seperti kuda, akan tetapi menadng dalam kesabaran. Sapi tidak lekas kena sakit dan pemeliharaannya pun tidak begitu mahal, dan meskipun tidak dapat lagi bekerja, dagingnya tetap dapat dimakan. Gandum dibuat hanya untuk roti, minuman dibuat dari anggur atau apel ataupun pear, mereka juga minum air tawar yang biasanya dimasak dengna madu atau kayu manis. Jika suatu kota membutuhkan sesuatu, maka segeralah disiapkan dengan cepat. Meskipun demikian tanah pertanian tetap menghasilkan lebih daripada kebutuhan. Tetapi penduduk tidak mempunyai perabot rumah tangga. Ini dikirim dari kota dan para petani itu tidak usah menggantinya. Sebulan sekali penduduk berkumpul untuk mengadakan pesta. Jika musim panen datang, para kepala suku mengumumkan kepada penduduk kota agar dikirimkan beberapa orang. Orang-orang yang mengerjakan panen itu didatangkan dalam waktu yang tetap dan jika udara baik, dalam satu hari hampir selesailah panennya itu.
Jika kita mempelajari utopia itu, baik dari Plato, maupun dari Thomas Morus, dan dari Proudhon, kita akan menangkap berbagai gambaran. Diantaranya ialah:
I. Suatu masyarakat yang demokratis, yang mana tidak terdapat perbedaan hak dalam kehidupan, suatu komunisme dalam arti yang sebenar-benarnya dan sedalam-dalamnya;
II. Setiap anggota masyarakat adalah orang yang sadar, sehingga dalam "perburuhannya" itu ia tidak merasa dipaksa, melainkan bebas baik rohaniah maupun jasmaniah;
III. Bagi orang yang tidak menyelami utopia tersebut maka tidak akan ada jalan masuk baginya.
Ketiga gambaran ini penting sekali untuk kita ketahui, karena utopia itu menuntut kepada kita suatu kesadaran. Dengan singkat utopia ini merumuskan hal-hal yang di inginkan Demokrasi. Alasannya, karena:
I. Kondisi pertama demokrasi ialah bahwa semua produksi adalah untuk dipergunakan, dan bukannya untuk mencari keuntungan;
II. Kondisi kedua ialah bahwa tiap-tiap orang akan memberi sesuai dengan kemampuannya, dan tiap-tiap orang akan menerima sesuai dengan kebutuhannya dan;
III. Kondisi ketiga ialah bahwa tiap-tiap pekerja dalam tiap-tiap industri secara kolektif memiliki dan menguasai industri itu.
Sekarang perhatian kita diminta untuk membandingkan ketiga gambaran utopisme yang telah kita sebutkan sebelumnya dengan ketiga kondisi demokrasi yang baru saja kita sebutkan itu. JIka kita perhatikan baik-baik, maka jiwa dari ketiga kondisi demokrasi tersebut sama persis dengan utopia Thomas Morus. Disinilah kita ingin mengingatkan kenyataan-kenyataan dari utopia tersebut, yaitu bahwa utopia itu justru dimiliki oleh orang yang tidak sadar, atau bahwa utopia itu adalah utopia. Ada dua macam pendekatan yang dapat dilakukan orang terhadap utopia:
a. Kita mendekati utopia itu dengan sadar, artinya utopia yang kita dekati itu adalah utopia, dan
b. Kita mendekati utopia itu dengan tidak sadar, artinya utopia yang kita dekati itu adalah utopia.
Dalam hal pertama kita akan dapat sampai pada suatu wawasan tentang hidup kita, tentang sejarah dan tentang kenyataan. Orang yang mempunyai wawasan ini menggambarkan utopia sebagai keinginan belaka dari manusia yang belum dewasa, manusia yang belum mengetahui bagaimanakah caranya membebaskan diri dari malapetaka yang terus menerus menyiksa dan mengancam. Jika cara pendekatan dari manusia yang belum dewasa ini dilakukan orang terhadap utopia, yang konsekuensinya secara langsung akan membenturkan diri pada kenyataan-kenyataan yang pahit, maka ia akan tidak saja membawa kerugian bagi diri sendiri, melainkan juga akan berakibat pada angkatan-angkatan berikutnya, karena jangka sejarah akan dikorbankan oleh ignoransinya. Tidak kurang tepat apa yang dikatakan oleh Mannheim, bahwa utopisch adalah suatu kesadaran, yang tidak mendapatkan suatu keselarasan dengan lingkungan tempatnya berada.
Dengan demikian sifat utopisch itu dapat diibaratkan sebagai sifat seorang anak kecil yang merusakkan alat mainnya sendiri, tetapi ia menyalahkan orang lain, sekalipun orang lain itu tidak ada. Ia membuat gambaran abstrak tentang orang lain yang dianggapnya salah itu, dan jika ia kebetulan melihat seseorang lain lewat didekatnya segeralah gambarannya yang abstrak itu menjadi quasi-konkrit.

III. Utopia dan Mitos
Apabila kita memperhatikan gejala utopis sebagai telah kita gambarkan, yaitu gejala disharmoni dengan kenyataan sekeliling, maka kita akan sampai kepada suatu godaan untuk menarik kesan seakan-akan utopia itu sinonim dengan mitos. Gambaran yang dibuat oleh seorang anak kecil yang mempersalahkan orang lain karena si anak mengalami disharmoni dengan lingkungannya memperkuat kesan ini. Mitos, kata Theodor Reik,"adalah hal-hal yang bertentangan dengan sejarah. Sesuatu kita sebut mitos apabila ia merupakan sinonim dari khayalan atau fiksi dan bertentangan dengan kenyataan. Akan tetapi, kata Reik selanjutnya, "tidak semua mitos itu adalah mitos. Pada mulanya mitos itu tidak terpisah dari sejarah, hanya saja artinya menjadi dongengan karena bentuknya dari generasi ke generasi diubah isinya. Dengan singkat kita katakan, bahwa mitos sering memberikan kepada kita pengetahuan tentang masa-masa atau peristiwa-peristiwa yang telah dilupakan dalam bentuk fantasi".
Jadi dilihat dari sudut yang tepat mitos mengandung kenyataan-kenyataan sejarah sebagaimana dinyatakan oleh Berdjajew, mitos itu ialah suatu kisah tentang waktu yang telah lampau, akan tetapi dinyatakan dalam bentuk yang gampang diingat-ingat oleh rakyat yang sederhana, atau dalam versi Malinowski, suatu kenyataan hidup yang dipercaya, bahwa kenyataan itu pada suatu kali terjadi dalam masa lalu dan berlangsung terus dari masa ke masa untuk mempengaruhi dunia dan nasib-nasib manusia. Dari pendapat-pendapat tentang mitos ini kita dapat menarik suatu kesimpulan, bahwa mitos tidak sama artinya dengan utopia. Jika mitos itu masih dalam ikatan dengan sejarah, maka utopia itu sebaliknya, bersifat a-sejarah (ahistoris). Sifat berbalikan antara mitos dan utopia dapatlah kita lihat lebih jelas lagi, bahwa utopia itu idea yang dituju, sedang mitos itu kenyataan yang ditinggalkan. Sebagaimana kita ketahui, utopia itu adalah suatu gambaran yang sempurna, di mana manusia tidak mempunyai kebutuhan lagi, di mana manusia tidak mempunyai masalah lagi. Seandainya utopia itu suatu kenyataan, di sana kita tidak akan mengalami penderitaan dan kemiskinan. Akan tetapi utopia hanyalah suatu gambaran, yang tidak dapat dijelmakan ke dalam kenyataan.
Di sinilah letaknya keanehan hidup manusia; di satu pihak ia harus mempunyai gambaran itu untuk dituju, dilain pihak ia harus sadar bahwa gambaran itu tidak dapat dicapai. Dalam mitoslah karena itu kenyataan tersebut harus kita alami. Untuk menjaga salah paham hal ini perlu sekali dijelaskan. "Mitos adalah bentuk kenyataan yang sangat menarik, akan tetapi jika ia sudah ditangan kaum awan dari generasi ke generasi, isinya itu akan semakin berubah". Akan tetapi isi yang berubah itu bukannya karena dikurangi ataupun karena ditambah-tambah. Bentuknya tetap tidak berubah. Inilah ciri khas dari mitos itu. Sudah tentu ini akan lain jika dibandingkan dengan berita dari mulut ke mulut.
Cobalah kita ambil tiga orang yang kita minta menunggu di luar ruangan. Di dalam ruangan berada publik yang terdiri dari sepuluh-duapuluh orang. Panggil seorang dari ketiga orang yang di luar ruangan masuk. Lalu kita bacakan sebuah cerita yang agak panjang tentang suaru peristiwa tertentu kepadanya. Suruhlah ia menceritakan kepada orang yang kedua yang masih menunggu di luar ruangan. Ceritanya sudah lain. Pada waktu orang yang ketiga kita panggil masuk, suruhlah orang yang kedua menceritakan cerita itu kepadanya. Dan suruhlah akhirnya orang yang ketiga itu menceritakan cerita itu kepada publik pasti akan lebih jauh berlainan dengan cerita aslinya. Akan tetapi perubahan isi tersebut disebabkan oleh kenyataan, bahwa bukan hanya isinya yang berubah, melainkan juga bentuknya. Terang hal ini hal ini berbeda dengan mitos, karena mitos mempunyai bentuk yang sama biarpun isinya telah berubah. Umpamanya saja cerita tentang jatuhnya Adam dari surga. Semua menceritakan bahwa Adam jatuh dari surga karena ia menerima tawaran dari Hawa buah yang dipetik dari pohon terlarang oleh godaan setan. Seribu tahun yang lalu adalah sama dengan seratus tahun yang lalu dan sama pula sampai saat ini. Akan tetapi isinya berbeda. Ada yang benar-benar menghayati kenyataannya, ada yang dalam kata-katanya percaya pada cerita itu, walaupun sebenarnya tidak menghayati; atau menghayatinya tetapi tidak sepenuhnya. Ada pula yang tidak percaya sama sekali, tetapi mencoba menafsirkannya secara ilmiah dan sebagainya. Teranglah di sini kebenaran dari ucapan Malinowski itu.
IV. Mitos dan Sejarah
Sesudah Plato, terjadilah degradasi pengertian mitos, yaitu dari pengertiannya sebagai kenyataan-kenyataan sejarah menjadi dongengan semata-mata. Ini adalah suatu konstatasi yang memerlukan penjelasan tentang sebab-sebabnya. Tetapi sebelum kita menganalisa gejala sejarah ini, baiklah terlebih dahulu kita arahkan perhatian kepada penyorotan terhadap mitos itu sebagai suatu kenyataan.
Apabila kita membaca suatu puisi, atau mendengarkan suatu ciptaan musik, atau menyelami suatu seni lukis, atau mengikuti suatu pementasan drama, maka di situ sebenarnya kita menerima suatu pesan dari si penyair, atau dari si pemusik, atau dari si pelukis, atau dari si dramator, dan lain sebagainya. Umpamanya drama Prometheus yang disiksa ciptaan seorang pujangga Eleusis yang bernama Aischulos menceritakan bahwa pada mulanya kaum Titan dalam perjuangannya berhasil menguasai alam semesta, lalu memilih seorang dewa yang bernama Kronos untuk memerintah mereka. Tetapi karena Kronos ternyata konservatif ia digulingkan oleh anaknya sendiri yang bernama Zeus dengan bantuan seorang Titan yang bernama Prometheus. Yang terakhir ini ternyata kemudian tidak setuju dengan kebijaksanaan Zeus yang hanya berhasil menciptakan mahluk-mahluk primitif, lalu Prometheus mengajari mereka membuat api, sedang mereka yang tidak mau maju dibinasakannya. Zeus marah, lalu menghukum Prometheus di sebuah karang. Prometheus dengan di hibur oleh puteri-puteri samudra, merasa tidak berputus asa, melinkan yakin bahwa dikelak kemudian hari ia pasti menjadi yang terkuat di seluruh alam semesta.
Jika drama Prometheus yang disiksa ini kita baca atau umpamanya kita saksikan di hadapan pentas, maka kita mendapat pesan dari penciptanya. Dalam hal ini penciptanya berpesan kepada kita tentang sesuatu yang telah terjadi semasa si pencipta itu hidup. Adapun kejadian yang dipesankan oleh Aischulos itu kepada kita ialah tentang negerinya sendiri dang dalam masa hidupnya merupakan negeri yang sangat muda, namun mengalahkan tentara Persia yang menyerbu ke negeri itu, tentara yang sudah mempunyai tradisi perang. Bersama dengan kemenangan itu negerinya Aischulos mendobrak faham lama, yaiut alam pikiran kaum tiran atau penindas (feodal) yang memperlakukan sesama manusia dan bangsanya sebagai hamba sahayanya. Negerinya Aischulos mencita-citakan suatu masyarakat demokrasi dan untuk sementara waktu harapan Aischulos sebagai warga negara yang dulu dalam perang kemerdekaan secara aktif ikut bertempur, malahan pernah menderita luka-luka berat, dapat dipenuhi. Akan tetapi kemudian terjadilah penyelewengan oleh beberapa petualang politik. Aischulos yang merasa turut bertanggung jawab menegakkan masyarakat demokrasi di negerinya karena ia tidak mempunyai ambisi politik ia menentang penyelewengan ini. Tetapi oleh karena Aischulos bukan seorang historikus, melainkan seorang dramatis, maka pesan yang hendak disampaikannya berupa suatu mitos, yang dalam bahasa Yunani berarti "pesan".
Dalam arti ini, bukan hanya drama saja yang mempunyai mitos, melainkan juga musik, puisi, seni lukis dan sebagainya. Sesuatu ciptaan atau karya seni yang mengandung pesan dengan sungguh-sungguh dan pesan itu dapat sampai kepada umat manusia (dengan sendirinya pesan itu adalah pesan kemanusiaan) maka disebutlah bahwa ciptaan atau karya seni itu mempunyai mitos. Adapun pesan atau mitos tersebut ditujukan kepada seluruh manusia tanpa membedakan golongan, derajat ataupun tingkat kecerdasan, melainkan kepada semuanya. Oleh karena itu seorang pujangga atau pencipta yang ingin menyampaikan pesan itu bersifat sangat jatmika atau rendah hati. Dahulu dikala belum ada tulisan mereka menyampaikan pesan itu dengan kata-kata yang sederhana, tetapi indah dipantunkan atau dilagukan, sehingga mudah di ingat-ingat dan dinyanyikan oleh rakyat dan demikianlah dari tangan ke tangan menjadi milik rakyat sebagaimana lagu-lagu kerakyatan yang tidak diketahui lagi siapa penciptanya. Selain dalam bentuk yang demikian, maka pesan itupun disampaikan pula dalam bentuk lukisan-lukisan umpamanya lukisan pada dinding-dinding gua tentang binatang-binatang, untuk menunjukkan pergaulan si pemesan pada masa hidupnya.
Jika kita perhatikan agak seksama, sampai sekarang pun masyarakat kita masih memiliki mitos-mitos seperti yang digambarkan tadi. Dalam pengertian yang sudah sangat dalam, maka pada hakikatnya agama yang menggambarkan adanya surga dan neraka itupun adalah suatu mitos pula, karena mitos sebenarnya adalah suatu cara mengartikan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang dengan sendirinya berlangsung di dunia ini. Mitos tentang seorang dewa yang adil adalah cara mengartikan suatu kejadian tertentu dari seorang raja atau kepala suku yang memerintah rakyat atau bangsanya dengan adil. Sebaliknya gambaran seorang dewa yang tidak adil, atau seorang dewa yang diturunkan menjadi seorang manusia biasa; cerita tentang Kama dan Ratih yang berdosa kepada Mahadewa, lalu diturunkan menjadi raksasa dan raksasi yang harus hidup di hutan-hutan adalah gambaran dari manusia, juga dari seorang yang kedudukannya rendah sampai tibanya Arjuna membebaskan mereka, suatu rehabilitasi dari yang memegang tampuk kekuasaan, dan sebagainya.
Lambat laun bila manusia yang primitif itu tidak lagi memandang pemberontakan raksasa melawan dewa-dewa sebagai cara belaka untuk mengartikan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa kemanusiaan, melainkan telah mengartikan seakan-akan benar ada dewa-dewa di langit, lalu para raksasa naik membakar seluruh dewan Suralaya, yaitu tempat dewa-dewa bersemayam, maka turunlah mitos itu menjadi satu barang yang naif, di mana tiada lagi pesan yang terkandung di dalamnya, sehingga disebutlah bahwa mitos itu Dichtung (dongengan) belaka sebagai lawan kebenaran atau Wahrheit. Demikianlah kita mengenal perkataan mitos rasionalisme, artinya seakan-akan benar ada rasionalisme atau seakan-akan pikiran-pikiran yang dikemukakan oleh rasionalisme itu benar. Sebagai reaksi terhadap timbulnya mitos sebagai dongengan ini, maka ilmu menampilkan diri dengan mencari kriterion (ukuran) yang obyektif terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa kemanusiaan. Akan tetapi suatu ilusi yang dihadapkan oleh ilmu terjadi ketika ilmu mengira, bahwa ilmu dapat dimengerti semua rakyat hingga anggota masyarakat yang terakhir' seorang yang paling rendah tingkat kecerdasannya.
Oleh karena ilusi ini mengakibatkan sebagian besar masyarakat tidak dapat memahami hakikat yang tersembunyi di belakang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa kemanusiaan itu, sehingga ilmu pun menjadi barang hafalan melalui brosur-brosur dan pamflet-pamflet politik. Dengan demikian orang mencari mitos yang tidak mengandung pesan. Dalam pada itu, sementara di kalangan kaum cendekiawan terjadilah pencampur-adukan antara ilmu dan mitos, sekalipun mitos dalam arti yang sejati, pendeknya suatu intelektualisasi seni, sehingga hasilnya bukanlah ilmu, dan juga bukanlah mitos. Ilusi ini akhirnya muncul pula dalam versi lain dan banal, suatu seni tanpa pesan dan suatu ilmu tanpa kriterion.

V. Utopisme Modern
Dasar-Dasar Utopisme Modern
Pada hakikatnya dasar-dasar utopisme modern telah diletakkan oleh Plato, ketika ia hendak mengadakan sintesis antara masyarakat duniawi dan masyarakat surgawi. Dalam rupa yang sama timbullah idea untuk menegakkan suatu negara yang berdasarkan keagamaan dengan merumuskan bahwa kedaulatan itu tidak di tangan manusia di dunia ini, melainkan di tangan Tuhan di surga. Ini merupakan landasan teokrasi yang kelemahannya terletak dalam kenyataan bahwa orang mencampur-adukkan masyarakat duniawi dengan masyarakat surgawi dalam suatu kontradiksi eschatology duniawi. Eschatology ialah ajaran tentang hal-hal yang terakhir, yaitu dari kata Yunani eschaton yang artinya yang terakhir. Demikianlah eschatology (eskatologi) itu mengajarkan kepada kita tentang akhir dunia ini, akhirat, tentang kebangkitan kembali badan manusia yang telah mati, tentang pengadilan yang penghabisan, tentang kerajaan Tuhan di bumi. Akan tetapi ajaran tersebut dijelaskan dalam pengertian dogmatik, artinya disadari bahwa itu tidak dapat dilaksanakan di dunia sebelum akhirat. Apabila orang mengira bahwa ia dapat dilaksanakan di dunia ini, maka ia sebenarnya telah meninggalkan dogmatik dan menampilkan dirinya sebagai utopis.
Demikianlah juga kesalahan-kesalahan orang sejak jaman dahulu hingga sekarang, aeakan-akan hal itu tidak dapat dipelajari. Tidak kurang tepat ketika Agustinus menolak konsepsi Plato tentang pencampur-adukkan masyarakat duniawi dengan masyarakat surgawi, tanpa menghayati Tuhan. "Malanglah orang yang mengetahui hal-hal duniawi dan surgawi, tetapi tidak mengenal Engkau; tetapi berbahagialah orang yang mengenal Engkau, meskipun boleh jadi ia tidak mengenal hal-hal duniawi dan surgawi", kata Agustinus, karena "Engkau telah membentuk kami ke dalam diriMu, dan hati serta kalbu kami gelisah sampai mereka menemukan kedamaian di dalam Engkau". Kata-kata Agustinus ini dapatlah kita fahami sebagai suatu antipode terhadap falsafah Plato yang tidak dapat memecahkan dilemanya, yaitu di satu pihak ia berusaha untuk melewati seluruh batas dunia empirik, di lain pihak ia kembali ke dunia ini untuk untuk mengorganisasikan dan mengaturnya dengan hukum-hukum akali. Meskipun demikian, yang ditolak oleh Agustinus sebagaimana dengan tepatnya dikatakan oleh Cassirer, bukan konsepsi falsafinya, melainkan pandangan tentang hidup.
Pada hemat kita utopisme terjadi apabila orang memandang masalah ini sebagai masalah falsafi semata-mata dan tidak sebagai masalah hidup. Ini tidak saja dialami Plato, melainkan juga oleh Machiavelli, Rousseau, Proudhon, dan bahkan oleh Marx sendiri. Orang tidak lagi mengetahui, bahwa kenyataan-kenyataan ini adalah kesatuan dari keanekaan, dan karenanya tidak mungkinlah kita menyama-ratakan suatu masyarakat dalam suatu abstraksi. Apabila seorang pendekar agama mengajarkan kepada para pengikutnya untuk mencontoh teladan-teladan pemimpin-pemimpinnya secara tepat, hal itu adalah suatu yang tidak mungkin. Angin berhembus karena pohon-pohon di hutan tidak sama tingginya. Ini tidak berarti bahwa kita mengadakan pembedaan. Akan tetapi tidaklah mungkin kita mempunyai suatu masyarakat yang seluruh anggota-anggotanya berhati baik semuanya tanpa norma-norma yang mengikatnya. Andaikata toh terdapat suatu masyarakat yang seluruh angota-anggotanya tak seorang pun yang berbuat kejahatan, hal itu bukanlah disebabkan oleh karena masyarakat itu memiliki anggota-anggotanya yang keseluruhannya sama dalam kualitas moral, intelektual dan kesanggupannya, melainkan oleh karena norma-normalah yang mengikatnya. Tanpa menyadari, bahwa pencampur-adukkan antara orang mendapat panggilan untuk memimpin dan orang yang tidak mendapat panggilan untuk memimpin adalah bahaya yang sebesar-besarnya. Itulah sebabnya kita mempunyai ukuran, bahwa seorang perwira yang menyerah kepada musuh, tanggung jawabnya lebih berat daripada seorang prajurit biasa yang menyerah kepada musuh. Demikianlah juga di dalam Revolusi, seorang yang membela kemerdekaan tanah air dengan semangat patriotik dan heroik, tanpa pamrih sedikit pun, ia tidak akan meminta balas jasa, karena tujuannya hanyalah untuk membebaskan tanah airnya dari penindasan musuh.
Dalam penjajahan dahulu di satu pihak kita melihat penderitaan yang dialami oleh rakyat, penderitaan yang dialami dengan terpaksa, di lain pihak kita melihat penderitaan yang dialami oleh pemimpin-pemimpin rakyat, yang sebenarnya mereka tidak usah menderita, namun penderitaan mereka ini lebih berat. Penderitaan yang dialami oleh rakyat adalah penderitaan untuk dibebaskan, sedang penderitaan yang dialami oleh pemimpin-pemimpin rakyat adalah penderitaan untuk pembebasan. Keduanya tidak dapat dicampur-adukkan. Jika seorang pemimpin mengeluh, karena ia menderita, maka ia tidak sendirian untuk menamakan dirinya pemimpin, karena ia menderita untuk rakyat, dan tidak untuk dirinya sendiri. Tetapi, jika kita meneliti folklore (cerita rakyat) kita, kita sedikit banyak menunjukkan juga jiwa utopis. Dongengan itu umpamanya, peristiwa seorang ksatria pertapa yang bertapa untuk mendapatkan kekuasaan dari dewa-dewa; sehingga yang menjadi tujuan adalah dirinya sendiri dan bukan untuk rakyat. Dongengan semacam ini tidak boleh hidup lagi di tengah-tengah rakyat kita, karena seorang yang menderita untuk membebaskan penderitaan rakyat tidaklah boleh mempunyai pamrih sedikitpun.
Tidak dilihatnya nuances (nuansa) penderitaan ini akan gampang menyebabkan disia-siakannya tanggung jawab yang harus dipikul oleh para pemimpin, sebagaimana pernah dikatakan oleh Julien Benda, "kaum intelegensia" mulai memainkan kartu nafsu politik. Ini memperingatkan kepada para intelegensia yang menyeleweng dari tanggung jawabnya. Dan ini sebagaimana terjadi juga di Eropa dalam perang dunia yang terakhir, bahwa manusia mempergunakan kecakapannya tidak untuk menyelamatkan rakyat dan kemanusiaan, melainkan untuk mengatur sistem pembunuhan manusia secara besar-besaran. Tidak lain karena tidak adanya tanggung jawab dan hal ini adalah karena tidak dilihatnya nuances dalam masyarakat.
Sumber: MANUSIA UTOPIA : (Tentang Manusia di Bawah Penindasan Ideologi