-->

Friedrich Nietzsche (1844-1900)


“Bagaimana pun kegilaan Nietzsche memiliki arti bagi keberlangsungan peradaban”
I

Jika diperhatikan latar belakang keluarganya, terasa mengherankan bahwa filsuf ini mempunyai pemikiran yang sering kontroversial, radikal, frontal, dan ateistik. Kakek Nietzsche, Friedrich August Ludwig (1756-1862), adalah pejabat tinggi dalam gereja Lutheran. Jabatannya bisa disejajarkan dengan seorang uskup dalam Gereja Katolik. Ayahnya, Karl Ludwig Nietzsche (1813-1849), adalah seorang pendeta saleh di desa Rocken, dekat Lutzen. Sedangkan ibunya, Franziska Oehler (1826-1897), juga seorang Lutheran taat yang berasal dari keluarga pendeta. Di desa Rocken keluarga Nietzsche terkenal amat saleh dan taat beribadat. Bahkan ibunya tergolong tipe orang Kristen yang tidak dapat memahami bahwa orang yang sudah membaca dan mempelajari Injil masih meragukan kebenaran yang ada di dalamnya. Sikap Franziska Oehler ini sering bertabrakkan dengan sikap-sikap Nietzsche selanjutnya. Dan tragisnya, Franziska adalah orang yang paling dekat dengan Nietzsche.
Nietzsche lahir di Rocken 15 Oktober 1844. Hari kelahirannya sama dengan hari kelahiran Friedrich Wilhelm, Raja Prusia waktu itu. Karena ayah Nietzsche termasuk salah seorang pengagum raja itu, dengan bangga ia memberi nama baptis Friedrich pada bayinya. Berdasarkan buku riwayat hidupnya, Mein Lebenslauf, Nietzsche merasa amat bangga akan seluruh kebaikan yang dimiliki ayahnya. Pengalaman hidup bersama dengan ayahnya hampir selalu diwarnai dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Hubungan mereka ini dilukiskan seperti ‘hari-hari pada musim semi yang cerah’.
Tetapi kebahagiaan Nietzsche bersama ayahnya ternyata tak dapat berlangsung lama. Ketika dia baru berusia empat tahun, tiba-tiba ayahnya sakit keras dna meninggal pada 1849. Keluarga ini lebih terpukul lagi ketika adik Nietzsche, Joseph, meninggal pada tahun berikutnya. Sejak itu, seluruh keluarga pindah ke Naumburg, kota asal nenek moyang Nietzsche. Mereka mencoba memulai fase hidup baru di sana. Dan dalam keluarga ini, kini, Nietzsche merupakan satu-satunya anak lelaki. Anggota keluarga yang lainnya adalah ibu, kakak perempuan, kedua tante dan nenek.
Menjelang umur enam tahun Nietzsche masuk sekolah gymnasium. Ketika itu sebenarnya dia sudah bisa membaca dan menulis, sebab dia sudah diajar oleh ibunya. Di sekolah, Nietzsche tergolong orang yang amat pandai bergaul. Dengan cepat dia dapat menjalin persahabatan dengan teman-teman sekolahnya. Melalui teman-temannya inilah ia diperkenalkan dengan karya-karya Goethe dan Wagner. Dari perkenalannya yang pertama dengan sastra dan musik, dia merasa bahwa dia cukup mempunyai bakat dalam bidang itu. Hal ini akan dibuktikan dalam perkembangan hidupnya kemudian.
II

Pada umur empat belas tahun Nietzsche pindah ke sekolah dan seklaigus asrama yang bernama Pforta. Sekolah ini dikenal cukup keras dan ketat. Acara-acara disusun sedemikian ketat sehingga seolah-olah para murid merasa hidup di dalam penjara. Hanya pada hari Minggu, anak-anak diberi sedikit kebebasan, yaitu tidur setengah jam lebih lama. Sedangkan jam-jam lainnya dipakai untuk mengadakan semacam pengulangan atau repetisi pelajaran-pelajaran yang sudah diterima selama seminggu yang baru saja berlalu.
Selama di Pforta Nietzsche belajar bahasa Yunani dan Latin secara intensif. Dari sinilah ia mendapatkan bekal yang kuat untuk menjadi seorang ahli filologi yang brilian. Di samping belajar kedua bahasa itu, ia juga masih belajar bahasa Hibrani, karena pada waktu itu ia masih bermaksud menjadi pendeta sesuai dengan keinginan keluarganya. Namun Nietzsche mengakui bahwa dia tidak berhasil menguasai bahasa Hibrani. Bagi Nietzsche tata bahasa Hibrani yang termasuk rumpun bahasa semit ini dirasa terlalu sulit.
Di Pforta inilah Nietzsche mulai merasa kagum terhadap karya-karya klasik Yunani dan kejeniusan para pengarang Yunani. Bersama dengan kedua temannya, Wilhelm Pinder dan Gustav Krug, Nietzsche membentuk semacam kelompok sastra yang diberi nama Germania. Dalam kelompok ini mereka berlatih mendiskusikan karya-karya bermutu, baik berupa artikel-artikel maupun puisi-puisi. Dengan cara inilah Nietzsche mulai tertarik melatih mengungkapkan gagsan-gagasan dan emosinya melaui puisi.
Pada tahun-tahun terakhir di Pforta Nietzsche sudah menunjukkan sikap jalangnya. Dalam tulisannya Ohne Heimat (Tanpa Kampung Halaman) ia mengungkapkan gejolak hatinya yang ingin bebas dan minta difahami. Bersamaan dengan itu ia juga mempertanyakan iman kristennya dan bahkan secara perahan-lahan mulai meragukan kebenaran seluruh agama.
Pada Oktober 1864 Nietzsche melanjutkan studi di Universitas Bonn untuk memperdalam filologi dan teologi. Di bidang filologi Nietzsche diajar oleh Friedrich Ritschl, yang pada tahun-tahun selanjutnya banyak membantu kemahiran Nietzsche dalam filologi. Tetapi pada 1865 Nietzsche sudah memutuskan untuk tidak belajar teologi lagi.
Keputusan ini amat erat kaitannya dengan kepercayaan Nietzsche yang sudah mulai pudar sejak ia masih tinggal di Pforta. Sampai saat ini ia bersedia belajar teologi hanya karena cintanya pada ibu dan ayahnya. Sebab dengan belajar teologi ia dapat menjadi pendeta dan dengan demikian dapat meneruskan profesi ayahnya. Keputusan ini mendapat perlawanan keras dari ibunya. Di antara mereka pernah terjadi diskusi diskusi melalui surat tentang hal itu. Dalam salah satu suratnya Nietzsche pernah mneulis:”(J)ika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, maka: percayalah, jika engkau ingin menjadi mruid kebenaran, maka: carilah...!
Sejak di Pforta Nietzsche merasa tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan hidup. Berkali-kali ia menyatakan mau mengadakan semacam pencarian dan percobaan (Versuch) dengan hidupnya. Sikap ini nanti akan mempengaruhiseluruh filsafatnya, khususnya metode filsafatnya. Ia melakukan percobaan ini secara radikal dengan melepaskan teologi. Ia memilih menjadi seorang freethinker. Ia ingin bebas, tidak hanya bebas melepaskan beban, tetapi juga bebas memilih beban yang lebih berat.
Di Bonn Nietzsche hanya bertahan selama dua semester. Pada pertengahan 1865 ia pindah ke Leipzig untuk belajar flologi selama empat semester. Di sana ia amat akrab dengan dosennya, F. Ritschl, dan diakui oleh dosennya sebagai mahasiswa yang paling berbakat di antara semua mahasiswa yang pernah diajarnya. Penilaian Ritschl ini antara lain berdasarkan tulisan Nietzsche yang pertama di bidang filologi, yaitu De Theognide Megarensis (silsilah para dewa megara). Karya ini ditulis Nietzsche, sejak masih berada di Pforta. Di universitasnya yang baru ini, Leipzig, ia juga memenangkan hadiah dibidang filologi yang disediakan universitas. Karangannya yang memenangkan hadiah itu adalah Diogenes Laertius.
Pengalaman membaca karya Schopenhauer adalah salah satu peristiwa terpenting dalam kehidupan intelektual Nietzsche. Dan ini juga terjadi di Leipzig pada akhir Oktober 1865. Saat itu ia sedang mengalami kegelisahan dan kegundahan yang amat mendalam. Ia sedang merasa amat pesimis akan hidupnya. Ketika ia mengunjungi sebuah toko buku-buku bekas, ia tertarik pada salah satu buku bekas karya Schopenhauer (1788-1860), yaitu Die Welt als Wille und Vors-tellung (The Worlds as Will and Idea, Dunia sebagai kehendak Ide, 1819). Semula ia membeli buku ini hanya karena ‘iseng’ saja. Tetapi setelah membaca buku itu sampai habis, ia segera menyatakan diri pada temannya bahwa ia sudah menjadi seorang pengikut Schopenhauer!.
Buku lain yang juga mempengaruhi pemikiran Nietzsche adalah buku karya seorang neo-Kantian, Friedrich Albert Lange (1828-1975). Buku ini berjudul Geoschichte des Materialismus und Kritik seiner Bedeutung in der Gegenwart (Sejarah materialisme dan kritik maknanya pada jaman sekarang, 1866). Dari buku ini Nietzsche merasa mendapatkan pengalaman lebih banyak daripada yang dijanjikan oleh judul buku itu sendiri. Tema-tema buku ini yang sangat mengesan adalah gerakan materialisme zaman itu, ilmu pengetahuan alam dengan teori-teori Darwin dan materialisme etis. Ketika buku ini terbit lagi pada 1887, Nietzsche membelinya lagi dan membaca habis seluruh buku itu!. Buku ini amat menarik perhatiannya justru karena sangat bertentangan dengan buku Schopenhauer. Buku yang ditulis Schopenhauer, menurut Nietzsche, berbicara dengan perasaan dan melihat manusia secara utuh. Sedangkan Lange menulis bukunya lebih dengan intelek saja dan pendekatannya terhadap manusia terbatas pada segi filosofis saja. Kesimpulan yang diambil Nietzsche adalah: kalau buku Langer benar, buku Schopenhauer harus salah, dan sebaliknya.
Pada 1867-1868 terjadi perang antara Jerman melawan Perancis. Ketika itu Nietzsche didaftar sebagai anggota dinas militer. Meskipun amat tidak senang dengan tugas itu, akhirnya ia tetap melaksanakannya. Selama menjalani dinas militer Nietzsche mendapatkan banyak pengalaman yang tak terduga sebelumnya. Ia mengalami kecelakaan (jatuh dari kuda) dan terpaksa dirawat selama satu bulan di Naumburg. Ia juga menyaksikan peristiwa-peristiwa tragis sebagaimana terjadi pada setiap perang. Seluruh pengalaman ini menimbulkan kegoncangan dalam dirinya. Ia mulai bertanya pada dirinya: melanjutkan studi filologi atau studi yang lain. Kini ia merasa bahwa belajar filologi itu hambar dan mati. Ia ingin belajar sesuatu yang lebih menarik untuk hidup.
Sekalipun sejak di Pforta Nietzsche sudah mengenal karya-karya musikus Ricard Wagner, baru pada tahun 1868 ia benar-benar merasa ‘jatuh cinta’ pada musikus Jerman ini. Pengalaman ini terjadi ketika dia menyaksikan pementasan Tristan dan Meistersinger. Dua belas hari kemudian ia dapat berjumpa dengan Wagner secara pribadi untuk pertama kalinya. Perjumpaan itu membuatnya yakin bahwa ternyata kebebasan dan karya yang sangat jenius itu masih mungkin dicapai! Dalam musik Wagner, Nietzsche melihat adanya semangat kebudayaan Yunani sebagaimana terlihat dalam karya-karya tragedi. Kebudayaan Jerman, katanya, dapat menjadi perwujudan kembali kebudayaan Yunani, asal diresapi dengan semangat Wagner. Ia juga tahu bahwa Wagner seorang pengagum Schopenhauer. Sejak itu Nietzsche menggabungkan dua tokoh itu, Wagner dan Schopenhauer, menjadi agama barunya.
III

Pada 1869 Nietzsche mendapat panggilan dari Universitas Basel, Swiss, untuk menjadi dosen di sana. Ia sendiri merasa heran, karena dia belum bergelar doktor. Tetapi hal itu rupanya tidak menjadi masalah, karena Ritschl, bekas dosennya di Leipzig, memberikan rekomendasi pada Universitas Basel. Bahkan diluar dugaan Nietzsche, sebulan setelah ada panggilan itu ia mendapatkan gelar doktor dari Leipzig tanpa ujian dan formalitas apa pun.
Di Basel ia mengajar sepuluh tahun, 1869-1879, dan berhenti karena kesehatannya memburuk. Mata kuliah yang diajarkan terutama filologi dan bahasa Yunani. Di samping dalam bentuk ceramah, ia juga memberikan kuliah dalam bentuk seminar. Selain mengajar di universitas ia juga mengajar di SMA. Selama di Basel Nietzsche mendapatkan banyak kesempatan untuk bertemu dengan Wagner. Bahkan kadang-kadang ia sempat tinggal serumah dengannya untuk beberapa hari. Kesempatan itu sangat menguntungkan Nietzsche untuk mengenal Wagner secara lebih dekat dan hal ini sangat penting untuk mengembangkan pemikirannya.
Masa kariernya sebagai dosen di Basel juga diwarnai dengan kondisi kesehatannya yang semakin memburuk. Berkali-kali ia harus cuti dan istirahat demi kesembuhan dirinya. Misalnya saja, pada 1870 ia jatuh sakit karena serangan desentri dan difteri. Pada 1870 ia hanya sempat mengajar selama satu bulan, dan sisa waktu lainnya dipakai untuk pergi ke berbagai daerah dan kota untuk menyembuhkan dirinya yang semakin lemah. Sakit mata dan kepala mulai parah sejak 1875. Serangan paling parah dan lama dideritanya pada 1879, sehingga ia terpaksa berhenti bertugas sebagai dosen. Sejarah kesehatan Nietzsche ini perlu diketahui, karena banyak orang yang menganggap bahwa karangan-karangan Nietzsche tidak lebih daripada ungkapan atas pengalamannya menghadapi sakit.
Anggapan di atas memang tidak dapat ditolak begitu saja, karena justru pada saat-saat istirahat karena sakit, dia sangat produktif. Pada periode ini dia menghasilkan banyak karangan yang di kemudian hari tergolong karya-karya terbaiknya. Buku Die Geburt de Tragodie aus dem Geiste der Musik (The Birth of The Tragedy out of the spirit of music, Lahirnya tragedi dari semangat musik) terbit pada 1872, setahun setelah beristirahat dan mencari kesembuhan di Lugano, Naumburg dan Leipzig. Pada tahun berikutnya, buku tentang tragedi Yunani ini disusul dengan terbitnya Unzeitgemasse Betrachtungen (untimely meditations, permenungan yang terlalu awal). Buku ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama berjudul David strauss, der Bekenner und der Schriftsteller (David Strauss, Pengaku iman dan penulis), terbit pada 1873. Dua bagian berikutnya terbit pada 1874, masing-masing berjudul Vom Nutzen und Nachteil der Historie fur das Leben (Kegunaan dan kerugian sejarah bagi hidup) dan Schopenhauer als Erzieher (Schopenhauer sbagai pendidik. Dan bagian keempat baru terbit dua tahun berikutnya, 1876, dengan judul Richard Wagner in Bayreuth (Richard Wagner di Bayreuth). Pada tahun yang sama Nietzsche diberi kesempatan untuk beristirahat selama setahun oleh universitas. Kesempatan ini digunakan untuk tinggal di Sorrento, Italia, bersama dua orang temannya, Paul Ree dan Albert Brenner. Di sana mereka tinggal di sebuah villa di suatu pantai yang menghadap ke Napoli dan Vesuvius. Selama di Sorrento mereka masing-masing merencanakan untuk menulis buku. Nietzsche merencanakan menulis buku Menschliches, Allzumenschliches (Human, All too Human, Manusiawi, terlalu manusiawi).
Buku yang secara sepintas tampak positivistik ini baru terbit untuk pertama kalinya pada mei 1878 Nietzsche melengkapinya dengan dua karangan lagi. Masing-masing berjudul Vermischte Meinungen und spruche (Mixed opinions and Maxims, kumpulan gagasan dan pepatah) dan Der Wanderer und Sein Schatten (The wander and his shadow, petualang dan bayangannya). Prestasi Nietzsche ini sangat mengagumkan, karena tahun 1879 merupakan tahun kelabu baginya: ia menderita sakit yang paling berat selama 118 hari. Keadaan ini memaksa Nietzsche mau tidak mau mengundurkan diri sebagai dosen.
IV

Sejak meninggalkan Basel, Juni 1879, hidup Nietzsche lebih banyak diwarnai dengan kesuraman dan kesepian. Ia lebih banyak menyendiri dan selalu menghindar dari hal-hal yang menyangkut tanggung jawab sosial. Untuk itu ia hidup berpindah-pindah di beberapa kota di Italia dan Swiss. Dalam pengembaraannya, Nietzsche sering ditemani Elizabeth (saudaranya), Lou Salome dan Paul Ree. Ia juga pernah merencanakan akan menikahi Lou Salome, seorang novelis cantik dan “paling menyenangkan serta paling cerdas yang pernah dijumpai oleh Nietzsche”. Lou menerima lamaran Nietzsche, asal dia juga diperbolehkan menikahi Paul Ree!. Usul ini diajukan oleh Loe karena ia tahu bahwa di antara mereka sebetulnya terjadi cinta segitiga. Mendengar rencana ini Elizabeth menjadi berang. Ia lalu melaporkan rencana yang ‘immoral’ ini kepada ibunya. Kemarahan ibu dan saudarinya, ditambah kesehatannya yang semakin buruk mendorong Nietzsche untuk hidup sendirian sampai akhir hayatnya.
Sampai dengan 1889, saat menderita sakit jiwa, Nietzsche tak dapat menghentikan kegiatannya untuk selalu merenung dan menulis. Pada 1881 dia berhasil menerbitkan buku Die Morgenrote, Gedanken uber die moralischen Vorurteile (fajar, gagasan-gagasan tentang praanggapan moral). Dengan bukunya ini Nietzsche bermaksud mau “mengawali perang melawan moralitas”. Tahun berikutnya, 1882, ia menerbitkan salah satu bukunya yang indah dan paling penting, yaitu Die Frohliche Wissenschaft (La gaya scienza) (ilmu yang mengasyikan). Dalam buku inilah Nietzsche memproklamasikan bahwa “Tuhan sudah mati” (Gott ist tot).
Selama tahun 1883-1885 Nietzsche mempersiapkan karya besarnya, yaitu Also Sprach Zarathustra (Demikianlah sabda zarathustra). Buku yang seluruhnya ditulis secara puitis ini terbit pada akhir 1885. Melalui mulut Zarathustra, seorang guru yang hidup di Persia 2500 tahun yang lalu, Nietzsche mengajarkan gagasan-gagasan utamanya seperti kembalinya segala sesuatu (die ewige Wiederkehr des Gleichen) dan Ubermensch. Selama tahun-tahun ini Nietzsche memang menghadapi peristiwa-peristiwa yang menarik. Di samping ditandai dengan terbitnya Zarathustra, tahun-tahun ini juga ditandai dengan keterlibatannya dalam cinta segitiga (Nietzsche-Lou Salome-Paul Ree), perpisahan dengan Elilzabeth yang mengikuti suaminya ke paraguay dan kematian Ricard Wagner (22 Mei 1885). Pada tahun-tahun ini pulalah, tepatnya tahun 1884, Nietzsche merencanakan untuk menulis suatu opus magnum yang berpusat pada gagsan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).
Pada 1886, buku Jenseit von Gut und Bose. Vorspiel einer Philosophie der Zukunft (diseberang baik dan jahat. Pengantar untuk filsafat masa depan) diterbitkan. Tahun berikutnya buku yang banyak berbicara tentang “kritik akan modernitas, ilmu pengetahuan modern, seni modern” ini disusul dengan buku yang berisi tentang polemik moral. Buku ini berjudul Zur Genealogie der moral. Eine Streitschrift (tentang asal-usul moral. Suatu polemik).
Pada 1888 Nietzsche menulis cukup banyak buku, akan tetapi hanya ada satu buku yang sempat diterbitkan. Buku yang diterbitkan ini berjudul Der Fall Wagner. Ein Musikan-ten-Problem (Kasus Wagner. Persoalan Musikus). Dalam buku ini ia menunjukkan bahwa karya-karya Wagner tidak lagi mencerminkan semangat kebudayaan Yunani. Wagner tidak lagi bersikap afirmatif pada hidup. Singkatnya, Wagner mengalami kemerosotan (dekadensi). Karya-karya Nietzsche yang belum diterbitkan pada tahun ini adalah Die Gotzen-Dammerung (Pudarnya para dewa), Der Antichrist (Antikristus), dan Ecce Homo (lihatlah manusia). Buku pertama dari ketiga buku ini terbit pada tahun 1889, Der Antichrist pada 1895 dan Ecce Homo pada 1908.
Tahun 1889 adalah tahun yang paling menyedihkan Nietzsche. Ia ditimpa sakit jiwa. Oleh Franz Overback, sahabat karibnya, ia dibawa ke klinik Universitas Basel. Seminggu kemudian ia dipindahkan ke klinik universitas Jena. Hampir semua usaha penyembuhan sia-sia saja. Nietzsche tak pernah dapat sembu sama sekali. Sejak 1890 ia dipindahkan oleh ibunya ke Naumburg dan dirawat sendiri di sana. Tiga tahun kemudian, Elizabeth datang dari Paraguay, karena suaminya, Forster, bunuh diri pada 1889. Bersama ibunya, Elizabeth merawat Nietzsche yang semakin lemah. Keluarga ini semakin malang, ketika pada 1897 (20 April) sang ibu meninggal. Pada tahun itu juga Elizabeth memindahkan Nietzsche ke Weimar. Dan di sana Nietzsche meninggal pada tanggal 25 Agustus 1900.
Saat-saat terakhir hidup Nietzsche sunguh tragis. Selama dua tahun terakhir masa hidupnya ia sudah tidak dapat mengetahui apa-apa dan tidak dapat lagi berpikir. Bahkan ia tidak tahu kalau ibunya sudah meninggal dan juga tidak tahu bahwa dia mulai menjadi termasyhur.***

---------------------------------------------
Lampiran:
I. Metoda Filsafat Nietzsche
Hampir semua buku Nietzsche tidak ada yang ditulis dengan secara sistematis. Untuk mengungkapkan gagsan-gagasannya, ia menulis dalam bentuk aforisme. Satu aforisme terdiri dari beberapa kalimat saja atau hanya satu paragraf. Bahkan ada juga satu aforisme yang terdiri dari satu kalimat. Satu aforisme ini merupakan gagasan utuh, yang tidak tergantung pada aforisme sebelum dan sesudahnya.
Gaya tulisan semacam itu sangat berbeda dengan gaya tulisan filsuf-filsuf sebelumnya. Dalam bukunya Ethica, misalnya, Spinoza memperlihatkan diri sebagai seorang sistematikus besar. Dengan mendasarkan diri pada seperangkat asumsi yang tidak dipertanyakan lagi, Spinoza mengadakan deduksi besar-besaran dan menyajikan sistem pemikiran yang rapi. Contoh sistematikus lainnya, tentu saja, G.W.F. Hegel dalam Phanomenologie des geistes (1807) dan Immanuel Kant, misalnya dalam Kritik de reinen Vernunft (1781).
Gaya aforistis memang cara penulisan yang paling tepat untuk mengungkapkan gagasan-gagasan Nietzsche. Pemikirannya ditandai dengan usaha untuk selalu mencari dan mencari yang baru dan tidak mau terikat pada pendapatnya yang terdahulu. Eksperimen yang dilakukan bukan seperti yang dilakukan Kant, yang megnadakan eksperimen tunggal yang hasilnya melengkapi konfirmasi eksperimen sebelumnya. Eksperimennya juga tidak seperti yang dilakukan para penganut pragmatisme. Ciri eksperimen Nietzsche ditandai dengan kualitas eksistensial. Eksperimen ini tidak berpretensi mau mensistematisasi pengalaman-pengalaman manusia yang penuh kontradiksi. Kalau perlu, menurut Nietzsche, seorang filsuf harus bersedia untuk menyangkal pendapatnya yang terdahulu.
Dengan metoda Versuch pada dasarnya Nietzsche menolak setiap bentuk sistem. Baginya sistem adalah penjara. Dengan sistem orang harus mendasarkan tulisan-tulisannya pada premis-premis yang tidak lagi dipersoalkan. Pemikir-pemikir sistematis berangkat dari asumsi-asumsi dasar dan dari sana menarik seperangkat kesimpulan. Menurut Nietzsche, sistematika dari dalam dirinya tidak dapat menetapkan kebenaran premis-premisnya. Kebenaran ini diterima begitu saja. Dengan demikian, seorang sistematikus, menurut Nietzsche, mereduksi sistemnya.
Dengan menolak sistem dan memilih bentuk aforisme Nietzsche juga bermaksud menghindari apa yang disebutnya sebagai dekadensi (kemerosotan). Dekadensi ini muncul karena orang terikat pada bentuk-bentuk pengungkapan pengalaman yang sudah aus. Orang yang di mata Nietzsche mengalami dekadensi adalah Ricard Wagner. Dalam Ecce Homo, musik-musik Wagner di kritik karena tidak dapat mengubah dunia dan tidak dapat lagi mengumandangkan semangat kebudayaan Yunani. Memang Nietzsche mengakui bahwa dia tidak lebih daripada Wagner, anak zaman, karena itu juga seorang dekaden. Tetapi ia menyatakan bahwa ia menyadari hal itu dan menolaknya. Sebaliknya, Wagner tak mau melawan zamannya, ia mengambil sikap konformisme pada zamannya, sehingga menjadi “imam agung dekadensi”. Nietzsche juga mengkritik para pengamat Wagner yang kurang kritis dan mengorbankan kontradiksi.
II. Beberapa gagasan dasar pemikiran Nietzsche
Bagian ini pertam-tama dimaksudkan untuk melukiskan periodisasi pemikiran Nietzsche. Di sini akan digambarkan persoalan-persoalan filsafatnya yang akhirnya mendorong untuk mengajukan hipotesa kehendak untuk berkuasa. Untuk tujuan ini tentu dibutuhkan pengetahuan akan tema dasar filsafat Nietzsche yang dapat menghubungkan semua persoalan yang ada.
Tema dasar ini dapat ditemukan dengan mudah dalam opus magnum yang direncanakannya, yaitu: Der Wille zur Macht Versuch einer Umwerthung aller Werthe (The Will to power, Attempt at a Revaluation of all Values). (Kehendak untuk berkuasa: Suatu usaha transvaluasi semua nilai). Dalam buku itu ia dengan ambisius mau mengadakan penelitian dan kritik tentang nilai. Lebih dari separuh buku ini dipakai untuk membahas nilai-nilai yang diajukan oleh agama, moral dan filsafat. Kritik ini berakhir dengan apa yang disebut nihilisme. Secara sederhana nihilisme dapat diartikan sebagai runtuhnya nilai-nilai tertinggi dan kegagalan manusia menjawab persoalan “untuk apa”. Dengan runtuhnya nilai-nilai, orang dihadapkan pada persoalan bahwa segalanya menjadi tak bermakna dan tak ternilai. Setelah menguraikan persoalan nihilisme, Nietzsche mengajukan prinsip-prinsip untuk mengevaluasi seluruh nilai supaya dapat melihat “nilai baru”.
Kaufmann merumuskan persoalan dasar pemikiran Nietzsche dengan tiga pertanyaan: a) apakah kita dapat menemukan sangsi baru bagi nilai-nilai di dunia ini; b) apakah dapat ditemukan tujuan baru yang memberikan arah hidup manusia?; c) apakah itu kebahagiaan?.
Sejak awal karya-karyanya, Nietzsche memperlihatkan minatnya pada bidang seni sebagai pengganti bidang moral yang selama ini membelenggu manusia. Belenggu yang kedua datang dari kesadaran yang berlebihan akan sejarah. Nietzsche ingin membebaskan orang dari beban moral dan beban sejarah seperti terlihat pada dua nomor berikut.
1) Nilai seni sebagai pengganti nilai moral;

Kritik Nietzsche atas nilai-nilai moral harus ditempatkan pada arus pokok pemikiran filsafat pada waktu itu. Ketika Nietzsche hidup, filsafat Barat sedang diwarnai dengan pandangan Kant tentang moral dan idealisme Fichte, Schelling dan Hegel. Dengan keras Nietzsche menyerang arus pokok ini. Dalam bukunya Kritik der praktischen Vernunft Kant mengakui adanya kemutlakkan nilai-nilai moral. Pandangan ini dibangun atas dasar teorinya tentang rasio praktis yang menunjukkan adanya imperatif kategoris dan atas dasar ketiga postulatnya: kebebasan kehendak, imortalitas jiwa dan adanya Allah. Oleh Hegel, kemutlakan nilai-nilai moral ini sudah di kritik melalui teori dialektikanya. Meskipun Kant sudah dikritik Hegel, Nietzsche berpendapat bahwa Kant masih tetap hidup. Hegel mengangkat seni ke dalam Roh Absolut dan moralitas ke dalam Roh Obyektif. Ini berarti Hegel sendiri masih mempunyai kepercayaan yang tidak dipertanyakan lagi, yaitu keteraturan dunia rasional yang menghendaki moralitas sosial sebagai batu loncatan untuk perkembangan seni, agama dan filsafat. Nietzsche, memperingatkan supaya orang tidak di perdaya baik oleh Kant maupun Hegel, sebab mereka menyajikan filsafat yang bertujuan untuk membenarkan moralitas.
Niezsche juga menyerang moralitas yang berdasarkan pada nilai-nilai dan sangsi-sangsi ilahi. Moralitas ini pertama berakar pada iman seperti diajarkan dalam agama wahyu. Salah seorang tokoh aliran ini adalah F.W.J. Schelling (1775-1854). Nietzsche mengkritik bahwa aliran ini tidak hanya gagal mempertanyakan premis dasarnya, melainkan juga menyerahkan filsafatnya pada agama. Dalam hal ini ia lebih dekat dengan kelompok Aufklarung, yang berpaling dari pendasaran-pendasaran religius ke pendasaran-pendasaran rasional. Sebagai reaksi atas pandangan-pandangan ini, ia menyelidiki nilai-nilai moral dengan bertolak dari nilai-nilai seni.
Usaha penyelidikannya ini tampak jelas dalam buku Die Geburt der Tragodie aus dem Geiste der Musik. Gagasan-gagasan kunci buku ini terungkap dalam pandangannya mengenai dua semangat seperti terungkap dalam pandangannya dalam tragedi-tragedi Yunani, yakni semangat apolonian dan dionisian. Semangat apolonian mencerminkan aspek kejeniusan orang-orang Yunani, kekuatan untuk menciptakan keharmonisan dan keindahan, prinsip individuasi, daya yang mampu memberi bentuk dan simbol cahaya, ukuran serta hambatan. Hasil kesenian yang diwarnai semangat ini adalah mitologi, cerita-cerita plastis dan patung. Di sini orang mau menutup kenyataan dengan hal-hal yang indah dan penuh seni.
Dan semangat dionisian adalah simbol kegilaan atau arus hidup itu sendiri yang mengancam untuk merusak semua bentuk dan norma, nafsu tak terpadamkan yang melampaui semua pembatasan, sikap menyerah yang kadang-kadang kita rasakan ketika mendengarkan musik.
Menurut Nietzsche, tolok ukur kebudayaan yang tinggi adalah terjadinya perpaduan secara harmonis antara semangat dionisian dan apolonian. Dan hasil perpaduan ini antara lain tampak dalam tragedi Yunani sebelum Socrates. Perpaduan semacam itu juga pernah ditampilkan dalam opera-opera Richard Wagner.
Bagi Nietzsche tragedi membuktikan bahwa orang-orang Yunani dapat mengatasi rasa pesimisnya akan hidup. Mereka tidak berusaha utnuk berpaling dari hidup. Sebaliknya, mereka mempunyai sikap afirmatif atas hidup mereka. Memang benar, bahwa hidup ini sebenarnya ngeri dan menakutkan. Tetapi manusia dapat mengubahnya melalui jalur seni sebagai karya kreatif dan jenius. Nietzsche sendiri mengklaim diri sebagai filsuf tragedi yang pertama, karena ia adalah orang pertama yang melihat fenomena dionisian dalam kebudayaan Yunani. Dan melalui pengamatannya itu ia berhasil menyusun pemikiran yang mendorong orang menjadi Ja-Sagender, yaitu orang yang mengamini hidup.
Penghayatan hidup melalui jalur seni merupakan jawaban Nietzsche untuk membebaskan orang dari kungkungan moral. Pendekatan moral dikritik Nietzsche sejauh dilandasi keyakinan akan adanya hukum moral universal dan nilai-nilai moral yang absolut. Nietzsche mengamati hidup tidak mulai dengan gagasan-gagasan seperti penyelenggaraan ilahi, tujuan alam semesta, sangsi-sangsi berdasarkan suatu keharusan absolut. Pendekatan melalui jalur seni akan tercapai, kalau orang melihat unsur dionisian sebagai unsur negatif-dialektik yang mutlak perlu bagi terwujudnya nilai seni itu. Nietzsche melihat bahwa pergulatan hidup adalah pergulatan orang untuk memadukan semangat dionisian dan apolonian. Dan pergulatan ini berada pada lingkungan estetik dan bukan normatif. Dengan kata lain, pergulatan hidup harus dipandang sebagai usaha untuk menciptakan keindahan. Seni adalah monumen kemenangan manusia dalam menjawab hidup.
2) Kegunaan dan kerugian sejarah bagi hidup;

Nietzsche membicarakan tema ini dalam bukunya Unzeitgemasse Betrachtungen bagian yang kedua. Dalam pendahuluannya dia mengatakan bahwa buku ini merupakan permenungan mengenai kegunaan dan kerugian sejarah (Nutzen und Nachteil der Historie fur das Leben). Dalam Die Geburt der Tragodie Nietzsche menekankan kengerian-kengerian sejarah sebagai tantangan yang menyudutkan orang lemah, sehingga dia berusaha menolak hidup. Dan bagi orang yang kuat, tantangan ini mendorongnya untuk menciptakan keindahan. Dalam Unzeitgemasse Betrachtungen dia mengemukakan bahwa sejarah berguna sejauh memasukkan orang ke dalam keputusan yang mendalam, sehingga orang kuat dan sehat melawan penderitaan dengan menciptakan keindahan. Singkatnya, mempelajari sejarah dapat mendorong orang untuk mengafirmasi sekaligus menolak hidup.
Pemikiran Nietzsche tentang sejarah merupakan reaksi terhadap zamannya. Pada waktu itu, orang sangat mengagungkan kesadaran sejarah atau kesadaran terus menerus akan masa lampau. Nietzsche mengkritik bahwa pengetahuan sejarah telah dijadikan idolisasi atau pemberhalaan dan dijadikan substitusi kebudayaan yang dihayati. Faktor lain yang mendorong Nietzsche dalam hal ini adalah teori evolusi Darwin, yang menyangkal adanya perbedaan mendasar antara manusia dan binatang.
Untuk memahami pemikiran Nietzsche tentang sejarah, kita akan memeriksa tiga kunci yang diajukannya, yakni historis, ahistoris, dan supra-historis. Analisisnya mengenai dua konsep pertama di dasarkan pada masalah kebahagiaan dan penderitaan. Menurut Nietzsche mempelajari sejarah lebih cenderung membuat orang tidak bahagia. Baginya, baik yang historis maupun yang ahistoris diperlukan untuk kebahagiaan. Maka, belajarlah bagaimana melupakan pada saat yang tepat dan mengingat pada saat yang tepat. Kesimpulan Nietzsche ini dapat di jelaskan sebagai berikut.
Kalau orang hanya bersifat historis, hanya mau mengingat apa saja yang terjadi di masa lampau, maka orang akan terjerumus ke dalam ketidakberdayaan untuk hidup. Ketidakmampuan melupakan ini dapat memenjarakan orang dalam situasi yang membuatnya tidak mampu untuk mengambil keputusan dan menjadi kreatif. Sebaliknya, orang yang tidak mempunyai kesadaran akan masa lampau juga tidak normal. Akibat yang ditimbulkannya adalah: tidak dapat mengatur diri sendiri, merusak kesempatan-kesempatan untuk hidup terus, adanya kebudayaan tanpa tradisi.
Nietzsche menunjukkan bahwa pada masa ahidupnya, situasi sudah didominasi oleh penyelidikan-penyelidikan historis. Bahkan ia menangkap adanya hipertropi akan makna sejarah pada zamannya. Pandangannya tentang dua konsep ini memang sederhana dan kurang mencerminkan kedalaman yang biasanya dimiliki oleh para filsuf Jerman. Konsepnya yang lebih penting adalah supra historis.
Di mata Nietzsche manusia historis mempunyai keyakinan dan harapan akan masa depan. Namun tidak demikian halnya dengan manusia-manusia supra-historis. Manusia ini memandang keselamatan dan kebahagiaan dalam proses. Baginya, dunia dipenuhi dan disempurnakan pada setiap saat dan dengan demikian tujuan dapat dicapai pada setiap saat. Dari pendirian ini muncul persoalan mengenai nilai: adakah nilai-nilai yang sifatnya supra-historis atau apakah semua nilai itu hanya merupakan gejala historis yang berlaku dalam tempat dan waktu tertentu?.
Pemecahan persoalan ini sebenarnya sudah dapat dilihat pada karya pertamanya: Die Geburt der Tragodie. Di sana dikatakan bahwa nilai moral itu bersifat tidak supra historis. Sebaliknya, nilai seni tampak sebagai nilai yang tidak tergantung pada perubahan sejarah. Bahwa keindahan kebudayaan Yunani masih dapat kita rasakan sampai sekarang, hal ini menunjukkan bahwa nilai seni itu tidak berada di bawah perubahan, melainkan melampaui sejarah.
Dua pemikiran yang dicetuskan dalam karya-karya pertama ini sangat penting untuk memahami perkembangan pemikiran Nietzsche selanjutnya. Nietzsche melihat nihilisme muncul sebagai akibat kecenderungan orang memutlakkan nilai-nilai moral yang berkembang dalam sejarah. Supaya orang tidak terlalu lama dibebani nilai-nilai moral dan sejarah, maka Nietzsche mengusulkan supaya proses nihilisme ini dipercepat. Dan pada gilirannya dia mengajukan suatu transvaluasi nilai-nilai, yang membuat orang menjadi bebas dan sanggup berkata “Ya” pada hidupnya.****(Sumber: Sunardi,St. Nietzsche)


lihat juga : influence of nietzsche