Beberapa perbedaan mengenai Seni
6 minute read
Para filosof dan kritisi menganut berbagai aliran dan pendapat tentang seni rupa pada umumnya dan sajak pada khususnya. Perbedaan aliran dan pendapat ini terjadi terhadap bobot dan mutu seni-seni yang ada, tujuan dan maksudnya, ukuran kebaikan dan keburukannya, dan kesempurnaan dan kekurangan yang ada padanya. Itu, merupakan persoalan yang begitu luas. Sehingga pembahasan ini merupakan garis besarnya saja.
a.Seni mempunyai tujuan. Kebanyakan para kritisi berpendapat bahwa seni merupakan peniruan terhadap alam. Di antara para filosof yang mengemukakan pendapat yang demikian ini adalah Plato dan Aristoteles. Keduanya menyatakan bahwa seni merupakan peniruan terhadap alam. Namun selanjutnya mereka berbeda pendapat tentang hal-hal yang lain. Plato menganggap rendah seni, karena seni merupakan peniruan terhadap alam. Sedangkan alam sendiri mempunyai berbagai manifestasi yang menyesatkan atau merupakan bayang-bayang yang tidak mempunyai realitas. Aliran Plato tentang alam nyata, alam ideal, dan alam materi cukup dikenal. Plato mencela drama karena ia membangkitkan perasaan sehingga sulit di kendalikan. Pun ia mencela penyair. Sebab, imaginasi-imaginasi mereka yang bohong tentang Tuhan dan manusia, buruk dampaknya atas pikiran anak-anak muda. Sementara menurut Aristoteles, seni itu baik karena merupakan peniruan yang dilakukan manusia terhadap karya-karya Tuhan. Seni meniru alam dan Tuhanlah penggeraknya yang pertama. Demikian pula Aristotelespun juga memuji seni, karena ia bisa membangkitkan perasaan dan memperhalusnya, sehingga perasaan mudah dikendalikan. Dari hal itu bisa disimpulkan bahwa kedua filosof itu menilai seni dari segi kebaikan dan keburukan yang melekat padanya. Keduanya termasuk para pendukung aliran bahwa seni harus mempunyai tujuan-tujuan moral. Kebanyakan para kritisi penganut aliran ini menilai seni dengan dampaknya atas manusia dan hubungannya dengan moral. Plato pada khususnya, demikian besar perhatiannya terhadap dampak seni atas moral.
Menurutnya, materi dan cita-cita hendaknya diarahkan pada moral dan pengetahuan dan daya tarik seni hendaknya bisa membantu dalam terciptanya warga negara yang baik. Dan musik hendaknya dilarang, kecuali melodi-melodi yang menyeru pada keberanian, pengorbanan, dan melodi-melodi yang mengingatkan manusia dan memapankan dalam hatinya cinta sikap moderat, ketertiban, dan pemujaan dewa. Sedangkan kegembiraan yang dibangkitkan oleh seni bisa menopang akal budi dalam memberi petunjuk pada manusia ke arah jalan yang lurus. Lebih lanjut lagi, Plato mencela para seniman yang menimbulkan kerusakan dan ia menyarankan agar mereka diusir dari negeri di mana mereka menimbulkan kerusakan. Banyak di antara para kritisi, malah kebanyakannya, yang mengharuskan seni mempunyai tujuan-tujuan dan mereka menilainya berdasarkan dampaknya atas kehidupan manusia. Pelopor mereka antara lain adalah Plato dan Bernard Shaw. Di antara mereka ada yang menyatakan bahwa tujuan seni adalah kegembiraan. Menurut Aristoteles, seni sebagai peniruan terhadap alam mempunyai tujuan psikis dan sosial. Tujuan ini ialah kenikmatan yang timbul dari terlepasnya emosi yang tertahan. Saint Augustine, pada zaman pertengahan, berpendapat bahwa tujuan seni adalah untuk menciptakan keindahan. Keindahan ialah sesuatu yang menimbulkan kegembiraan pada manusia bila dilihat. Aliran ini dianut oleh sebagian kritisi hingga masa kita ini. Mereka itu antara lain ialah Sigmund Freud. Menurutnya, seni membebaskan pikiran seniman dan penikmat dari ketegangan, dengan terpuaskannya keinginan-keinginan yang tertahan. Di dalam kelompok kedua yang menyatakan bahwa seni mempunyai tujuan, ada yang menyatakan bahwa tujuan seni adalah kehidupan itu sendiri. Sebagian yang lain menyatakan bahwa seniman adalah guru. Dan tujuan seni yang tertinggi ialah membangkitkan kalbu manusia. Sebab, kalbu adalah pusat kehidupan. Jadi, seni adalah berkaitan dengan kehidupan manusia, berkaitan dengan eksistensi material dan moralnya. Sementara itu sebagian kritisi lain berpendapat bahwa tujuan seni adalah untuk mengalihkan perasaan-perasaan yang terluhur dan tertinggi pada jiwa. Dan ia mencela seni Prancis pada masa kemunduran, karena ia mengekspresikan perasaan para penguasa yang hina dina.
b.Seni demi seni. Pada permulaan abad kesembilan belas , tersebar suatu seruan untuk menilai seni dengan seni dan menolak pendapat bahwa seni harus mempunyai tujuan, kecuali apabila seni itu demi seni. Para pendukung aliran ini menyatakan bahwa seni hendaknya untuk seni (l’art pour l’art). Di antara pendukung aliran ini di Prancis adalah Flaubert dan Baudelaire. Sedangkan pendukungnya di Rusia, antara lain ialah Pushkin dan di Inggris ialah Oscar Wilde dan Walter Peter. Seruan ini pada esensinya merupakan perkembangan dari aliran romantisme. Seruan ini mempunyai arti bahwa seni dimaksudkan untuk keindahannya sendiri. Sedangkan kebenaran, kebajikan dan hal-hal yang berkaitan dengan keduanya tidaklah mempunyai kaitan dengan seni, atau ia hanya menjadi pengikut dan tidak sebagai tujuan yang tertinggi. Jadi, seni tidaklah mempunyai tujuan kecuali dirinya dan tidak dimaksudkan kecuali dirinya sendiri. Seni tidak membawa pesan kecuali untuk membangkitkan kekaguman terhadap keindahan dalam jiwa. Sedangkan apabila ia ditujukan pada hal-hal yang lain, seperti moral, pendidikan, harta, dan ketenaran, maka kedudukan tujuan ini adalah termasuk sebagian dari nilai seni. Seni adalah tujuan, bukan sarana. Dan siapa saja yang dimaksudkan seni bukan demi keindahan, ia bukanlah seorang seniman, dan sesuatu bila menjadi bermanfaat tidak lagi bisa dianggap tetap indah. Kata Oscar Wilde: “Syarat pertama untuk terjadinya kreativitas hendaknya para kritisi memahami bahwa alam seni dan alam moral benar-benar berbeda”. Seruan ini, dari segi sosial, adalah seruan pada individualisme mutlak yang membuat timbulnya seni-seni yang menghancurkan segala keutamaan yang dikenal pada abad-abad yang lalu.
c.Para pendukung aliran “seni demi seni”. Sebelum timbulnya seruan di atas, telah timbul seruan serupa yang juga tetap bertahan hingga kini. Seruan ini menyatakan tentang perlunya seni dinilai berdasarkan bentuknya, bukan maknanya, juga menyerukan tentang perlu dinilainya sajak, misalnya saja, dengan kata, bentuk, dan gayanya, tidak dengan obyek atau maknanya. Seruan ini membedakan antara kisah, misalnya saja, makna, tokoh, arena, dan perasaannya dengan bahasa ekspresi, komposisi, dan bentuknya. Sebelumnya, diantara para satrawan Arab, telah terjadi polemik mengenai balaghah (retorika). Adalah retorika terletak pada kata-katanya atau pada makna-maknanya. Mengenai hal ini, Abdul Qahir al-Jurjani, penyusun Dalail al-I’jaz wa Asrar al-Balaghah telah menguraikannya secara panjang lebar. Seruan para penganut aliran itu sendiri mengingat ucapan Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya. Katanya: “Makna-makna ada pada setiap orang. Dan dalam relung setiap pikiran terdapat apa yang ia maui dan memuaskannya. Karenanya makna-makna tidak tergantung pada daya upaya dalam menggubah sastra. Penyusunan kata untuk mengekspresikannyalah yang diperlukan untuk menggubah sastra, seperti telah kami kemukakan. Ia berfungsi sebagai pola dari makna-makna. Ini bagaikan alat-alat yang dipergunakan untuk menggayung air laut, ada kalanya ia terbuat dari emas, perak, kerang, kaca, atau keramik. Airnya sendiri adalah satu, Kualitas dari alat-alat yang penuh dengan air itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan jenisnya, bukan karena perbedaan airnya. Demikian adalah halnya kebaikan dan keindahan bahasa yang dipergunakan adalah berbeda-beda sesuai dengan perbedaan peringkat dari kalimat yang dipakai dalam suatu karya, dalam kedudukannya sebagai penerapannya atas tujuan-tujuan. Sementara makna-makna itu sendiri adalah satu”. Salah seorang pendukung aliran itu, dari zaman modern ini, berujar: “Yang dipertimbangkan bukanlah apa yang di ekspresikan, tetapi sarana untuk mengekspresikan tentang hal yang buruk atau hal yang indah, tentang kebenaran atau kebatilan, atau tentang kekeliruan. Semuanya ini tidak masuk dalam penilaian terhadap seni. Karena seni dinilai berdasarkan bentuk yang menguraikan hal-hal itu semuanya”. Simbol seni demi seni adalah seiring dengan simbol ekspresi demi ekspresi. **