Secara logika, Ekonomi Kapitalistik Mengarah ke kehancuran.
7 minute read
1. Di penghujung abad ke-20 ini ekonomi kapitalistik telah berhasil menumbangkan kedua rivalnya, ialah ekonomi sosialis (Rusia menjadi CIS), dan RRC menerapkan ekonomi kapitalis), dan ekonomi koperasi (Barat) (Book menunjukkan hal itu –Book, Sven A., 1994, Nilai-nilai koperasi dalam era globalisasi, KJAN, jakarta). Di Negara kita ekonomi kapitalis-liberalis semakin di galakkan.
2. Benarkan ekonomi kapitalis-liberalis membawa kebahagiaan kepada umat manusia? Boleh jadi begitu, tapi TIDAK. Juga di penghujung abad ke-20 ini, sistem ekonomi itu telah memperlihatkan minimal dua macam keburukannya, ialah KETIMPANGAN dan PENGRUSAKAN LINGKUNGAN. Yang disebut pertama merupakan deprivation (Lewis, valentine), baik di negara maju (bersifat relative deprivation) maupun di negara berkembang (bersifat absolute deprivation). Baik relatif maupun absolut, keduanya merupakan PERENGGUTAN. Yang di sebut kedua dapat digolongkan menjadi tiga macam pengrusakan alam, ialah : (1) bolong-bolongnya lapisan ozon (atmosfir). (2) rusaknya hutan tropis, dan (3) pencemaran lingkungan (gas, cair, padat, sungai, laut, udara tercemar). Kedua macam keburukan itu tidak dirasakan di jaman Adam Smith (pertengahan abad ke-18) akan tetapi baru sekarang.
3. Bagaimana bisa diterangkan secara logika bahwa ekonomi kapitalistik-liberalistik membawa kehancuran? Marx (Karl Marx embahnya Komunisme) telah mencobanya, akan tetapi ia meleset. Sebabnya tak lain karena ekonomi yang ditentangnya dan ia sendiri adalah sama-sama materialistik. Menurut kita, kehancuran ekonomi kapitalistik justru karena sifat materialistiknya, yang menjadikan manusia bersifat loba atau serakah. Maka, manusia merusak dirinya sendiri, dan sifat ini merupakan “self destruction” daripada ekonomi kapitalisme. Weber menolak dengan tandas bahwa kapitalisme di dorong oleh keserakahan. Katanya, kapitalisme adalah semata-mata rasionalitas, suatu sifat khas Barat dan tidak terdapat di belahan dunia yang lain (Islam, India, dan Cina). Benar bahwa kapitalisme muncul dengan penyimpangan yang besar terhadap nilai-nilai sosial agama, bahkan terhadap legal di berbagai negara di Eropa pada waktu itu (ialah pertengahan abad ke-16), berupa “penghalalan” pemburuan harta, bukan saja sebagai kesempatan, akan tetapi merupakan kewajiban (duty). Namun katanya, hal ini sama sekali bukan keserakahan, bahkan mereka mengekang diri terhadapnya. Menurut hemat kita, Weber telah keliru pandang. Tanpa disadarinya kapitalisme telah berubah/berkembang dari sejak etika Calvinis (pada pertengahan abad ke-16) ke lahirnya “The Wealth of Nation” karangan Adam Smith yang berlandaskan pada faham liberalisme (pada pertengahan abad ke-18), sehingga kapitalisme benar merupakan rasionalitas, akan tetapi juga ia bersifat serakah. Hal ini jelas terlihat pada tiga prinsip dasar yang dianut oleh falsafah ekonomi itu, ialah: (1) Kebutuhan manusia yang tidak terbatas, atau prinsip “unlimited”. Kini sifat ini dijelmakan dalam pengerjaan keuntungan yang tak terbatas atau “profit maximization”. (2) Sumber Daya Alam (resources) yang langka atau scarcity principle, maka “limited. (3) Self Interest sebagai landasan pengejaran kesenangan (“happiness”), yang juga tidak terbatas. Di tangan Schumpeter (abad ke-20), dengan inovasinya, profit maximization menjadi realita yang terus meningkat: Prinsip (1), (2), dan (3) bergabung menimbulkan KETIMPANGAN atau PERENGGUTAN di masyarakat, dan menimbulkan KERESAHAN pada diri individu. Prinsip (1) dan (2) bergabung menimbulkan KERUSAKAN LINGKUNGAN. Ketiga keburukan itu ialah RESAH-RENGGUT-RUSAK secara masing-masing diterangkan seperti dibawah.
4. Terjadinya KERESAHAN : Pemburuan keuntungan atau “profit maximization” merubah manusia menjadi “serigala” yang selalu haus akan perolehan, maka ia selalu dalam keadaan atau situasi jiwa “memburu dan diburu”. Terhadap orang lain ia membandingkan-bandingkan dirinya siapa di antara mereka yang mendapat perolehan lebih banyak (demi perolehan itu sendiri seperti “olah raga”), dan bila ternyata ia mendapat perolehan lebih sedikit dari orang lain, ia akan merasa menyesal dan “rugi”. Maka bukan rugi mutlak, akan tetapi rugi relatif terhadap orang lain, dan ia akan memacu dirinya dengan lebih dahsyat lagi. Situasi kejiwaan inilah yang membuat orang memburu dan diburu, dan berada dalam pertarungan. Mereka tidak memperoleh kebahagiaan hidup, melainkan keresahan, kebingungan, “nervous exhaustion”, dan sebagainya. Book dalam bukunya itu tidak mengakui adanya kenyataan ini.
5. Terjadinya KETIMPANGAN atau PERENGGUTAN : Keinginan manusia yang “unlimited”, ditopang oleh sumber daya yang “limited”, dengan perhatian bagi dirinya saja, disatu pihak akan menimbulkan akumulasi, dan di lain pihak akan menimbulkan penyedotan. Ini terjadi melalui pasar (lihat butir 7). Maka yang kaya tambah kaya, yang miskin semakin miskin. Hal ini terutama mengenai kekuatan ekonomi (resource, alat produksi, kesempatan) seperti dikatakan oleh Sumitro Djoyohadikusumo, Pikiran Rakyat 11 Agustus 1994, yang pembagiannya di negara kita ini cenderung timpang. Semakin maju mungkin bertambah makmur, akan tetapi kekuatan ekonomi semakin timpang, maka PERENGGUTAN semakin menjadi. Di negara maju dikatakan relative, karena ada kemakmuran; dan di negara berkembang dikatakan absolute, karena tidak disertai kemakmuran. Akan tetapi baik relative maupun absolute, keduanya merenggut hak-hak asasi manusia, ialah hak manusia untuk ikut menentukan. Ternyata bahwa kapitalisme akhirnya melanggar nilai liberalisme itu sendiri.
6. Terjadinya PENGRUSAKAN LINGKUNGAN : Keinginan manusia yang “unlimited”, ditopang oleh sumber daya atau tepatnya lingkungan yang “limited”, akhirnya akan melampaui daya dukung lingkungan, yang sifatnya adalah limited. Benar bahwa interaksi antara keinginan dan lingkungan bersifat kreatif yang terus meningkat, akan tetapi makin maju, makin rusak lingkungan. Kini kita menghadapi rusaknya lapisan atmosfir (ialah lapisan ozon), selanjutnya kita menghadapi rusaknya lapisan lithosfir (kerak bumi), yang memungkinkan terjadinya berbagai macam malapetaka alam seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, dan sebagainya, yang mengancam dengan kekuatan yang lebih dahsyat. Kesulitan penyerapan air ke dalam tanah, yang sangat vital bagi kehidupan manusia, makin lama makin bersaing dengan pemukiman, pabrik, jalan, dan sebagainya, yang semuanya merupakan unsur-unsur kemajuan.
7. Jadi, ekonomi kapitalisme-liberalisme akhirnya tidak membawa kebahagiaan bagi umat manusia? Benar Begitu. Dulu, dalam pertengahan abad ke-18, Adam Smith menciptakan ekonomi “laissez faire”, yang bersifat mandiri, terpisah dari politik, agama dan sebagainya, melalui pasar yang bersifat netral dengan hukum-hukum khuluk (natural), yang disebut “The Invisible Hand”. Pasar yang bersifat netral itu, dan impersonal, ditunduki oleh semua pelaku ekonomi, dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa terhadapnya. Harga terjadi menurut hukum khuluk, ialah perpotongan antara permintaan dan penawaran. Disusunlah model “Pasar Bersaing Sempurna”. Etzioni menyangkal faham itu, mengatakan bahwa faham itu tidak realistik/empirik. Dikatakannya bahwa kekuasaan adalah bawaan manusia, maka monopoli adalah “rule”, bukan kekecualian. Harga dipengaruhi oleh manusia, berdasarkan kekuatannya. Maka persaingan adalah tidak sempurna. Inilah sumber ketimpangan, atau ketidak-bahagiaan manusia. Jadi, “The Invisible Hand” yang tadinya disangka “Ratu Adil” ternyata menimbulkan keresahan, ketimpangan, dan pengrusakan. Atau, yang tadinya di sangka WISNU, ternyata DURGA (Dewi Maut).
8. Bagaimana sikap kita terhadap ekonomi kapitalistik-liberalistik? Jawabannya adalah ada pada generasi muda yang mau berpikir menciptakan rule of law dalam berekonomi dan juga itikad dari individu-individu yang menghidupinya. Diantaranya kita bisa menciptakan kembali sistem ekonomi koperasi yang lebih sempurna dengan rule of law yang lebih sempurna pula. Karena, pada masa orde baru, “tikus” paling banyak adalah di lembaga koperasi ciptaan Soeharto yang berlandaskan pada kroniisme, perutisme, dan lain-lain isme yang telah merusakkan fondasi berkebangsaan dan bernegara.
9. Besarkah perbedaan antara sistem ekonomi kapitalistik-liberalistik dengan sistem ekonomi koperasi? Tergantung kepada bagaimana orang memandangnya. Menurut hemat kita, kita harus merubah tiga prinsip falsafah ekonomi itu : (1) menjadi kebutuhan yang terbatas (Q.S. Al-A’raf:31-33 dan hadits Nabi Saw). (2) Mensyukuri resources yang telah diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia, tidak perlu dipandang sebagai kelangkaan. (3) Bukan Happiness yang dikejar manusia, akan tetapi HASANAH (kebaikan, seperti dalam do’a : “Ya Tuhan, berikanlah kepada kami HASANAH di dunia, juga akhirat, dan jauhkanlah kami dari siksa neraka”. Apakah keterbatasan kebutuhan manusia itu rasional? Kita kira demikianlah. Secara simpel kita gunakan sebuah ibarat, ialah api. Di dalam masyarakat kita terkenal ucapan bahwa bila kecil, api merupakan sahabat (berguna), bila besar, api itu seperti musuh (merusak). Maka pemakaian api itu harus terbatas agar berguna bagi kehidupan kita. Ibarat lain adalah makanan (gizi). Bila kekurangan, kita menderita penyakit defisiensi (misalnya kwashiorkor atau defisiensi protein), sedangkan bila kita kelebihan gizi, kita akan menderita penyakit kegemukan (obesitas). Dan justru penyakit kelebihan gizilah yang merupakan malapetaka bagi kesehatan manusia, seperti kolesterol, yang akan menjurus kepada penyakit fatal seperti jantung koroner. Para internis mengatakan bahwa 60 persen dari penyakit dalam timbul melalui kerongkongan. Al Ghazali mengabdikannya dengan dasar pengekangan nafsu manusia: “awas dengan perut”. Selanjutnya, berlandaskan pada prinsip kebutuhan manusia yang terbatas itu kita laksanakan tiga mekanisme ekonomi sesuai dengan Al Qur’an dan Hadits: (1) bukan “maximization”, tapi “increasing”. (2) tanpa interest atau riba, akan tetapi qiradl atau “profit and loss sharing”. (3) ulur tangan dengan sesama pelaku ekonomi, maka : - bukan instrumental kalkulatif, akan tetapi instrumental “cinta”. – bukan “bersaing”, akan tetapi “berlomba dalam kebajikan” (QS. Al Baqarah: 148). Maka: “driving force” ekonomi kapitalistik adalah keserakahan, sedangkan ekonomi kooperatisme adalah kehanifan (lurus dan murni). Barangkali perbedaan antara ekonomi kapitalis dan ekonomi koperasi adalah besar, akan tetapi ekonomi koperasi (Indonesia) itulah yang hanif (benar). Wallahu’alam.
Sumber : Herman Soewardi